A.  DEFINISI PSIKOLOGI KOMUNIKASI

·         menurut George A. Miller, psikologi komunikasi adalah ilmu yang berusaha menguraikan, meramalkan dan mengendalikan peristiwa mental dan perilaku dalam komuikasi

·         psikologi komunikasi adalah ilmu yang mempelajari komunikasi dari aspek psikologi. (jalaludin rahmat)

·         psikologi komunikasi adalah ilmu yang menelitik kesadaran dan pengalaman manusia.

B.   5 TEORI PSIKOLOGI KOMUNIKASI

1.     Teori Kultivasi

Teori kultivasi melihat bagaimana televisi membentuk pandangan kita dari apa yang diinginkan dunia sosial.

Teori kultivasi didasarkan pada beberapa asumsi -asumsi mengenai televisi dan cara kita melihatnya. Asumsi-asumsi ini tidak mendahului program penelitian tetapi telah berkembang sebagai teori dalam penelitian ini tradisi mengakumulasi lebih banyak dan lebih banyak bukti tentang bagaimana kita menonton televisi dan efek televisi pada kehidupan sehari-hari dan pandangan dunia. Asumsi-asumsi ini summa-rized oleh Gerbner (1990).

Televisi telah jelas berubah pada berbagai tingkatan. Tapi perubahan ini dangkal. Nilai-nilai yang mendasarinya, demografi, ideologi, dan hubungan kekuasaan telah terwujud hanya sedikit fluktuasi dengan hampir tidak ada yang penyimpangan signifikan instalasi dari waktu ke waktu, meskipun sebenarnya perubahan-perubahan sosial yang telah terjadi. Teori kultivasi juga telah mengembangkan ide-ide tentang bagaimana kita melihat televisi. Secara khusus, mereka berpendapat bahwa "pemirsa menonton oleh jam" (Gerbner, 1990, 54). Teori kultivasi bersikukuh dengan berpendapat bahwa budaya bukan rangsangan atau model respons sederhana, model perubahan satu arah, atau model penguatan (Morgan cocok Signorielli, 1990).

Teori kultivasi paling sering diuji melalui perbandingan isi televisi dan kepercayaan orang-orang tentang sifat dari dunia. Pada awal dan mendefinisikan pekerjaan Gerbner dan rekan-rekannya, kedua potongan teka-teki yang disebut sebagai analisis isi dan analisis indikator budaya. Langkah pertama untuk menguji teori budidaya adalah penentuan konten televisi melalui conten analisis. Kedua, pengujian proses kultivasi melibatkan individu menilai keyakinan tentang dunia seperti apa dunia. Kemudian analisis kultivasi diuji hipotesis yang terdiri dari perbandingan antara keterangan penonton televisi dan pemirsa televisi berat. Jika pemirsa televisi berat 80 cenderung memberikan jawaban yang lebih sesuai dengan tanggapan televisi, peneliti akan memiliki dukungan untuk hipotesis kultivasi. Beberapa yang paling awal dari kritik teori kultivasi dicatat efek yang relatif kecil yang ditemukan untuk proses kultivasi dan fakta bahwa efek itu lebih jauh berkurang ketika mengendalikan jumlah variabel demografis yang relevan (misalnya, umur, jenis kelamin, pendidikan). Potter (1991a, 1993) berpendapat bahwa hubungan antara menonton televisi dan pandangan dunia mungkin bukan linear dan simetris yang diduga oleh satu teori kultivasi.

Dalam buku teori komunikasi Katherine Miller bab 15 mengenai teori media dan masyarakat menjelaskan mengenai beberapa teori yang berkaitan dengan sistem penyampaian informasi oleh media terhadap opini public dan perubahan masyarakat. Mulai dari teori agenda setting, teori spiral of silence dan teori mengenai kultivasi. Selain menjelaskan mengenai proses pengembangan tiap-tiap teori serta pembagian proses teori, dalam buku ini juga membahas kritikan dan sejumlah masukan mengenai pengembangan teori yang disesuaikan dengan pengembangan komunikasi.

Teori kultivasi merupakan teori yang menggambarkan mengenai cara perkembangan perubahan kebiasaan masyarakat yang disebabkan oleh media massa. Dalam teori kultivasi lebih menitikberatkan pada pengaruh siaran televisi. Teori kultivasi ini di awal perkembangannya lebih memfokuskan pengkajiannya pada studi televisi dan audiens, khusus memfokuskan pada tema-tema kekerasan di televisi. Akan tetapi dalam perkembangannya teori tersebut bisa digunakan untuk kajian di luar tema kekerasan. Teori ini menitik beratkan pada asumsi yang akan terjadi pada masyarakat dari penayangan siaran televisi yang ditonton.

Salah satu contohnya adalah pada siaran televisi yang menayangkan kekerasan dan ditonton oleh anak-anak. Jika proses kultivasi yang disampaikan oleh media massa terutama televisi telah mengakibatkan perubahan sikap dalam diri anak-anak. Mereka juga seakan-akan tidak tahu lagi apa yang semestinya dilakukan oleh anak-anak, sehingga ini mengakibatkan anak-anak seakan telah bersikap dewasa atau dengan kata lain merasa dirinya bukan lagi di usia yang sebenarnya. Siaran televisi ini akan berakibat baik bila pesan yang disampaikan adalah pesan-pesan yang baik dan bermoral. Sebaliknya, akan menjadi bahaya besar ketika televisi menyiarkan program-program yang bobrok dan amoral, seperti kekerasan dan kriminalitas.

Dalam teori kultivasi yang dijadikan penelitian adalah dampak yang disebabkan oleh televisi terhadap penerimaan oleh masyarakat. Pengembangan siaran televisi yang mempengaruhi manusia untuk menjadikannya sebagai suatu kebutuhan dalam mendapatkan informasi terkadang juga telah mengakibatkan terpengaruhnya cara berfikir audien mengenai sesuatu hal yang kemudian diterapkan dalam kehidupan keseharinnya. (Sumber: http://rizhacommunication.blogspot.com/2010/03/teori-media-dan-masyarakat-katherine.html)

2.     Teori Spiral of Silence

Teori spiral of silence, upaya untuk menjelaskan bagaimana komunikasi interpersonal yang dimediasi dan bekerja sama untuk membungkam suara-suara buku tebal dalam perdebatan publik dan mempengaruhi pasang surut dan arus opini publik.

Teori spiral keheningan mengusulkan bahwa orang akan enggan untuk mengungkapkan pendapat jika mereka menjadi percaya saat ini bertentangan dengan pendapat mereka sendiri atau jika mereka percaya bahwa pendapat sudah berubah ke arah yang bertentangan dengan pendapat mereka sendiri. Noelle-Neumann percaya bahwa efek ini akan sangat tegas sehubungan dengan prediksi dinamis opini publik tentang suatu masalah dan akan tergantung pada penilaian masa depan pendapat ketika saat ini dan masa yang akan datang penilaian tidak setuju. Noelle-Neumann melihat teori spiral keheningan sebagai mencakup semua teori opini publik yang menghubungkan proses psikologi social yang berbeda, interper sonal komunikasi, dan media massa.

Noelle-Neumann juga melihat spiral keheningan sebagai sebuah proses dinamis. Noelle-Neumann percaya bahwa keengganan untuk berbicara pada suatu isu tertentu akan lebih meningkatkan penggambaran media dan pribadi menilai bahwa pendapat yang berlaku terhadap beberapa pendapat. Sebagai gambaran dan penilaian ini menjadi lebih dimodifikasi, beberapa individu akan cacat dengan pendapat yang tampaknya berlaku atau setidaknya akan gagal untuk merekrut orang baru yang kurang dominan. Sebagai Akibatnya, opini yang sebenarnya prediksi akan mengikuti pendapat dan spiral ke bawah.

Noelle-Neumann tidak mengusulkan bahwa spiral keheningan adalah proses menyeluruh,, namun la menunjuk tiga peringatan yang membatasi penerapan teori untuk spesifik isu dan orang-orang. Pertama, teori akan terbuka hanya ketika masalah yang dihadapi adalah masalah moral baik dan buruk, bukan faktual terbitan yang dapat berdebat dan diselesaikan melalui interaksi rasional dan logis. Kedua, mencatat bahwa keengganan untuk berbicara keluar akan kurang diucapkan dalam berpendidikan tinggi dan lebih kaya bagian dari populasi. Ketiga, untuk setiap topik yang keras pendukung inti akan selalu bersedia untuk berbicara dalam suatu masalah, menganggap persepsi yang kurang dari pendapat yang berlaku dalam arah yang berlawanan.

Teori kebisuan spiral adalah model relatif mudah pembentukan opini publik dan perubahan. Namun, dalam beberapa hal yang cukup rumit, jauh melibatkan fenomena di berbagai tingkat analisis (yaitu psikologis, interpersonal, dan media) dan berpendapat rumit selama-waktu perubahan. Beberapa variabel tambahan telah diidentifikasi sebagai faktor-faktor yang memprediksi kesediaan untuk berbicara di hadapan sebaliknya sentimen publik. Ini termasuk kekuatan dan kepastian pendapat, kepentingan kaki dan tangan politik, dan individu tingkat efektivitas diri.

Dalam buku teori komunikasi Katherine Miller bab 15 mengenai teori media dan masyarakat menjelaskan mengenai beberapa teori yang berkaitan dengan sistem penyampaian informasi oleh media terhadap opini public dan perubahan masyarakat. Mulai dari teori agenda setting, teori spiral of silence dan teori mengenai kultivasi. Selain menjelaskan mengenai proses pengembangan tiap-tiap teori serta pembagian proses teori, dalam buku ini juga membahas kritikan dan sejumlah masukan mengenai pengembangan teori yang disesuaikan dengan pengembangan komunikasi.

Teori spiral keheningan menjelaskan menegenai seseorang akan mempunyai kemungkinan untuk tidak akan mengungkapkan pendapatnya saat dia merasa bahwa apa yang terjadi pendapat yang berkembang telah tidak sesuai lagi dengan apa yang dinggap benar oleh orang tersebut. Hal ini menyengkut dengan opini publik mengenai suatu hal tertentu.

Dalam buku ini mencontohkan dalam hal pemilu di German yang diukuti dua partai besar Sosial Demokrat dan Cristian Demokrat, saat awal dilakukan poling keduanya memiliki harapan yang sama dari masyarakat untuk menang. Namun prediksi yang dilakukan dari voting dua bulan sebelum pemilu berbeda dengan apa yang terjadi saat pemilu. Dalam teori ini menunjukkan jika opini public tidak hanya diperlihatkan lewat apa yang dikatakan, karena terkadang yang dilakukan tersebut hanya dilakukan karena takut terosilasi dan juga ketika mereka percaya pendapat yang berlaku bertentangan dengan pendapat mereka sendiri ini bergerak ke arah yang jauh dari pendapat mereka, orang-orang tidak akan mau berbicara. Teori spiral silence ini sangat berkaitan dengan berbagai tingkat analisis, antara lain, psikologi, interpersonal dan media.

(Sumber: http://rizhacommunication.blogspot.com/2010/03/teori-media-dan-masyarakat-katherine.html)

 

3.     Teori Komunikasi Media dan Masyarakat: Teori Agenda Setting

Teori ini mengambarkan mengenai bagaimana media massa mengatur dan mempengaruhi masyarakat dalam menentukan informasi. Media massa dapat membuat suatu agenda informasi yang nantinya akan dianggap penting oleh masyarakat. Begitu juga sebaliknya pemberitaan yang dianggap tidak penting oleh media akan menjadi tidak penting juga dalam masyarakat. Dalam agenda setting opini tentang suatu topik tertentu media massa dapat mempengaruhi oponi publik serta cara pandang masyarakat terhadap suatu hal. Salah satunya dapat dicontohkan, pemberitaan media massa mengenai pengambilan atau klaim dari Negara Malaysia terhadap beberapa kebudayaan Indonesia yang akhirnya menyebabkan suatu opini public yang negatif terhadap Negara Malayasia yang dianggap sebagai pencuri kepemilikan orang lain. Contoh lainnya saat media massa memberitakan suatu keburukan dari suatu perusahaan yang dianggap telah merugikan masyarakat, maka saat itu pula tanggapan masyarakat terhadap perusahaan tersebut akan menjadi buruk.

Teori ini banyak digunakan dalam mengakampanyekan calon dalam suatu pemilihan, baik itu pemilihan gubernur maupun presiden. Pemberitaan mengenai baik dan buruknya seorang calon akan mempengaruhi persepsi masyarakat terhadap calon yang akan diplihnya. (Sumber: http://rizhacommunication.blogspot.com/2010/03/teori-media-dan-masyarakat-katherine.html)

4.     Teori Peluru atau Jarum Hipodermik

Teori Peluru ini merupakan konsep awal efek komunikasi massa yang oleh para pakar komunikasi tahun 1970-an dinamakan pula Hypodermic Needle Theory (Teori Jarum Hipodermik). Teori ini ditampilkan tahun 1950-an setelah peristiwa penyiaran kaleidoskop stasiun radio siaran CBS di Amerika berjudul The Invansion from Mars (Effendy.1993:264-265).

Istilah model jarum hipodermik dalam komunikasi massa diartikan sebagai media massa yang dapat menimbulkan efek yang kuat, langsung, terarah,dan segera. Efek yang segera dan langsung itu sejalan dengan pengertian Stimulus-Respon yang mulai dikenal sejak penelitian dalam psikologi tahun 1930-an.

Model jarum suntik pada dasarnya adalah aliran satu tahap (one step flow), yaitu media massa langsung kepada khalayak sebagai mass audiance. Model ini mengasumsikan media massa secara langsung, cepat, dan mempunyai efek yang amat kuat atas mass audiance. Media massa ini sepadan dengan teori Stimulus-Response (S-R) yang mekanistis dan sering digunakan pada penelitian psikologi antara tahun 1930 dan 1940. Teori S-R mengajarkan, setiap stimulus akan menghasilkan respons secara spontan dan otomatis seperti gerak refleks. Seperti bila tangan kita terkena percikan api (S) maka secara spontan, otomatis dan reflektif kita akan menyentakkan tangan kita (R) sebagai tanggapan yang berupa gerakkan menghindar. Tanggapan di dalam contoh tersebut sangat mekanistis dan otomatis, tanpa menunggu perintah dari otak.

Teori peluru atau jarum hipodermik mengansumsikan bahwa media memiliki kekuatan yang sangat perkasa dan komunikan dianggap pasif atau tidak tahu apa-apa. Teori ini mengansumsikan bahwa seorang komunikator dapat menembakkan peluru komunikasi yang begitu ajaib kepada khalayak yang tidak berdaya (pasif).

Menurut Elihu Katz, model ini berasumsi :

1.    Media massa sangat ampuh dan mampu memasukkan ide-ide pada benak komunikan yang tak berdaya.

2.    Khalayak yang tersebar diikat oleh media massa, tetapi di antara khalayak tidak saling berhubungan.

Model Hypodermic Needle tidak melihat adanya variable-variable antara yang bekerja diantara permulaan stimulus dan respons akhir yang diberikan oleh  mass audiance. Elihu Katz dalam bukunya,  “The Diffusion of New Ideas and Practices” menunjukkan aspek-aspek yang menarik dari model hypodermic needle ini, yaitu

1.    Media massa memiliki kekuatan yang luar biasa, sanggup menginjeksikan secara mendalam ide-ide ke dalam benak orang yang tidak berdaya.

2.    Mass audiance  dianggap seperti atom-atom yang terpisah satu sama lain, tidak saling berhubungan dan hanya berhubungan dengan media massa. Kalau individu-individu mass audience berpendapat sama tentang suatu persoalan, hal ini bukan karena mereka berhubungan atau berkomunikasi satu dengan yang lain, melainkan karena mereka memperoleh pesan-pesan yang sama dari suatu media (Schramm, 1963)

Model Hypodermic Needle cenderung sangat melebihkan peranan komunikasi massa dengan media massanya. Para ilmuwan sosial mulai berminat terhadap gejala-gejala tersebut dan berusaha memperoleh bukti-bukti yang valid melalui penelitian-penelitian ilmiah.

Teori Peluru yang dikemukakan Schramm pada tahun 1950-an ini kemudian dicabut kembali tahun 1970-an, sebab khalayak yang menjadi sasaran media massa itu tenyata tidak pasif. Pernyataan Schramm ini didukung oleh Lazarsfeld dan Raymond Bauer.

Lazarfeld mengatakan bahwa jika khalayak diterpa peluru komunikasi, mereka tidak jatuh terjerembab, karena kadang-kadang peluru itu tidak menembus. Ada kalanya efek yang timbul berlainan dengan tujuan si penembak. Sering kali pula sasaran senang untuk ditembak. Sedangkan Bauer menyatakan bahwa khalayak sasaran tidak pasif. Mereka secara aktif mencari yang diinginkannya dari media massa, mereka melakukan interpretasi sesuai dengan kebutuhan mereka.

5.     Teori penggunaan dan pemenuhan kepuasan

Teori Penggunaan dan Pemenuhan Kebutuhan (bahasa Inggris: Uses and Gratification Theory) adalah salah satu teori komunikasi dimana titik-berat penelitian dilakukan pada pemirsa sebagai penentu pemilihan pesan dan media.

Pemirsa dilihat sebagai individu aktif dan memiliki tujuan, mereka bertanggung jawab dalam pemilihan media yang akan mereka gunakan untuk memenuhi kebutuhan mereka dan individu ini tahu kebutuhan mereka dan bagaimana memenuhinya. Media dianggap hanya menjadi salah satu cara pemenuhan kebutuhan dan individu bisa jadi menggunakan media untuk memenuhi kebutuhan mereka, atau tidak menggunakan media dan memilih cara lain.

Teori Penggunaan dan Pemenuhan Kebutuhan menggunakan pendekatan ini berfokus terhadap audiens member. Dimana Teori ini mencoba menjelaskan tentang bagaimana audiens memilih media yang mereka inginkan. Dimana mereka merupakan audiens / khalayak yang secara aktif memilih dan memiliki kebutuhan dan keinginan yang berbeda – beda di dalam mengkonsumsi media.

Menurut para pendirinya, Elihu Katz, Jay G. Blumlerm dan Michael Gurevitch uses and gratifications meneliti asal mula kebutuhan secara psikologis dan sosial, yang menimbulkan harapan tertentu dari media massa atau sumber-sumber lain , yang membawa pada pola terpaan media yang berlainan, dan menimbulkan pemenuhan kebutuhan dan akibat-akibat lain.

Pendekatan ini secara kontras membandingkan efek dari media dan bukan ‘apa yang media lakukan pada pemirsanya’ (kritik akan teori jarum hipodermik, dimana pemirsa merupakan obejk pasif yang hanya menerima apa yang diberi media).

Sebagaimana yang diketahui, bahwa kebutuhan manusia yang memiliki motif yang berbeda – beda. Dengan kata lain, setiap orangm emiliki latar belakang, pengalaman dan lingkungan yang berbeda. Perbedaan ini, tentunya berpengaruh pula kepada pemilihan konsumsi akan sebuah media. Katz, Blumler, Gurevitch mencoba merumuskan asumsi dasar dari teori ini , yaitu : Khalayak dianggap aktif, dimana penggunaan media massa diasumsikan memiliki tujuan. Point kedua ialah, dalam proses komunikasi massa banyak inisiatif yang mengaitkan pemuasan kebutuhan dengan pemilihan media terletak pada anggota khalayak. Point ketiga, media massa harus bersaing dengan sumber – sumber lain untuk memuaskan kebutuhannya. Dimana kebutuhannya ialah untuk memuaskan kebutuhan manusia, hal ini bergantung kepada khalayak yang bersangkutan. Point keempat, banyak tujuan pemilih media massa disimpulkan dari data yang diberikan anggota khalayak. Point kelima adalah Nilai pertimbangan seputar keperluan audiens tentang media secara spesifik.

Teori Penggunaan dan Pemenuhan Kepuasan dapat dilihat sebagai kecenderungan yang lebih luas oleh peneliti media yang membuka ruang untuk umpan balik dan penerjemahan prilaku yang lebih beragam. Namun beberapa komentar berargumentasi bahwa pemenuhan kepuasan seharusnya dapat dilihat sebagai efek, contohnya film horror secara umum menghasilkan respon yang sama pada pemirsanya, lagipula banyak orang sebenarnya telah menghabiskan waktu di depan TV lebih banyak daripada yang mereka rencanakan. Menonton TV sendiri telah membentuk opini apa yang dibutuhkan pemirsa dan membentuk harapan-harapan.

Teori Penggunaan dan Pemenuhan Kepuasan pada awalnya muncul ditahun 1940 dan mengalami kemunculan kembali dan penguatan di tahun 1970an dan 1980an. Para teoritis pendukung Teori Penggunaan dan Pemenuhan Kepuasan berargumentasi bahwa kebutuhan manusialah yang memengaruhi bagaimana mereka menggunakan dan merespon saluran media. Zillman sebagaimana dikutip McQuail telah menunjukkan pengaruh mood seseorang saat memilih media yang akan ia gunakan, pada saat seseorang merasa bosan maka ia akan memilih isi yang lebih menarik dan menegangkan dan pada saat seseorang merasa tertekan ia akan memilih isi yang lebih menenangkan dan ringan. Program TV yang sama bisa jadi berbeda saat harus kepuasan pada kebutuhan yang berbeda untuk individu yang berbeda. Kebutuhan yang berbeda diasosiasikan dengan kepribadian seseorang, tahap-tahap kedewasaannya, latar belakang, dan peranan sosialnya. Sebagai contoh menurut Judith van Evra anak-anak secara khusu lebih menyukai untuk menonton TV untuk mencari informasi dan disaat yang sama lebih mudah dipengaruhi

 
Picture
    Dari sekian banyak teori yang berhubungan dengan komunikasi, ada satu teori yang menarik menurut saya yaitu teori labelling. Dalam kehidupan kita sejak bayi hingga dewasa selamanya kita tidak dapat lepas dari teori yang satu ini. Disadari atau tidak, besar atau kecil, labelling turut mentukan sikap dan kondisi kita saat ini. Kok bisa? simak pemaparan dibawah ini yuuk... 

TEORI LABELING

  Labeling adalah sebuah definisi yang ketika diberikan pada seseorang akan menjadi identitas diri orang tersebut, dan menjelaskan orang dengan tipe bagaimanakah dia. Dengan memberikan label pada diri seseorang, kita cenderung melihat dia secara keseluruhan kepribadiannya, dan bukan pada perilakunya satu per satu. Labelling bisa juga disebut sebagai penjulukan/ pemberian cap.

   Menurut Lemert (dalam Sunarto, 2004) Teori Labeling adalah penyimpangan yang disebabkan oleh pemberian cap/ label dari masyarakat kepada seseorang yang kemudian cenderung akan melanjutkan penyimpangan tersebut.


Lahirnya teori labeling

  Diinspirasi oleh perspektif interaksionisme simbolik dan telah berkembang sedemikian rupa dengan riset-riset dan pengujiannya dalam berbagai bidang seperti, kriminolog, kesehatan mental, kesehatan dan pendidikan.

  Teori labelling dipelopori oleh Lemert dan Interaksionisme simbolik dari Herbert Mead (dalam Sunarto, 2004). Kemudian dikembangkan oleh Howard Becker pada tahun 1963. Awalnya, menurut Teori Struktural devian atau penyimpangan dipahami sebagai perilaku yang ada dan merupakan karakter yang berlawanan dengan norma-norma sosial. Devian adalah bentuk dari perilaku.


Penerapan teori labeling

   Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Martina Rini S. Tasmin, SPsi. Dalam teori labelling ada satu pemikiran dasar, dimana pemikiran tersebut menyatakan “seseorang yang diberi label sebagai seseorang yang devian dan diperlakukan seperti orang yang devian akan menjadi devian”.

    Penerapan dari pemikiran ini akan kurang lebih seperti berikut “anak yang diberi label bandel, dan diperlakukan seperti anak bandel, akan menjadi bandel”. Atau penerapan lain “anak yang diberi label bodoh, dan diperlakukan seperti anak bodoh, akan menjadi bodoh”. Bisa juga seperti ini “Anak yang diberi label pintar, dan diperlakukan seperti anak pintar, akan menjadi pintar”.

  Hal ini berkaitan dengan pemikiran dasar teori labelling yang biasa terjadi, ketika kita sudah melabel seseorang, kita cenderung memperlakukan seseorang sesuai dengan label yang kita berikan, sehingga orang tersebut cenderung mengikuti label yang telah ditetapkan kepadanya.

Penggambaran teori labeling
Ada dua konsep lain yang menarik dalam Teori Penjulukan:
1. Master Status

   Teori penjulukan memiliki label dominant yang mengarah pada suatu keadaan yang disebut dengan Master Status. Maknanya adalah sebuah label yang dikenakan (Dikaitkan) yang biasanya terlihat sebagai karakteristik yang lebih atau paling panting atau menonjol dari pada aspek lainnya pada orang yang bersangkutan.

    Bagi sebagian orang julukan penyimpangan telah diterakan, atau yang biasa disebut dengan konsep diri, mereka menerima dirinya sebagai penyimpang. Bagaimanapun hal ini akan membuat keterbatasan bagi perilaku para penyimpang selanjutnya di mana mereka akan bertindak.
 
    mereka akan mulai bertindak selaras dengan sebutan itu. Dampaknya mungkin keluarga, teman, atau lingkungannya tidak mau lagi bergabung dengan yang bersangkutan. Dengan kata lain orang akan mengalami stigma sebagai penyimpang/menyimpang dengan berbagai konsekwensinya, ia akan dikeluarkan dari kontak dan hubungan-hubungan yang yang ada (konvensional). Kondisi seperti ini akan sangat menyulitkan yang bersangkutan untuk menata identitasnya dari seseorang yang bukan deviant. Akibatnya, ia akan mencoba malihat dirinya secara mendasar sebagai criminal, terutama sekarang ia mengetahui orang lain memanggilnya sebagai jahat.

    Melewati rentang waktu yang panjang di mana orang memperlakukannya sebagai kriminal dalam berbagai hal dan ia mungkin akan kehilangan dan tidak akan mendapatkan pekerjaan. Bahkan mungkin lama kelamaan akan mempercayai bahwa kejahatan adalah jalan hidupnya, dan ia akan membangun koneksinya dengan orang-orang yang memiliki nasib yang sama dan menciptakan subkulturnya yag baru. Sekarang ia menjadi deviant career.

 
2. Deviant Career

   Konsep Deviant Career mengacu kepada sebuah tahapan ketika si pelanggar aturan (penyimpang) memasuki atau telah menjadi devian secara penuh (outsider). Kai T. Erikson dalam Becker (9 Januari 2005) menyatakan bahwa penyimpangan bukanlah suatu bentuk periaku inheren, tetapi merupakan pemberian dari anggota lingkungan yang mengetahui dan menyaksikan tindakan mereka baik langsung maupun tidak langsung.

Contoh teori labeling
   Salah satu contoh ialah cap yang diberikan masyarakat pada remaja yang dianggap berperilaku menyimpang. Yang lebih parah, remaja tersebut sependapat pula dengan persepsi demikian. Sehingga pola penyimpangan mereka diperkutat yang mengakibatkan tidak mungkin bagi mereka untuk melepaskan diri dari pola penyimpangan semacam itu. Sekali para remaja itu mempunyai citra diri sebagai penyimpangan, maka mereka pun akan memilih teman-teman baru yang bisa mempertebal citra diri mereka. Manakalah konsep diri itu semakin tertanam, mereka pun bersedia mencoba penyimpangan baru yang lebih buruk.

   Menurut para penganut teori labeling, banyak kenakalan remaja muncul karena cara penanggulangan sembrono dari pihak polisi, pengadilan dan petugas lainnya yang secara tidak sadar mengajar para remaja untuk memandang diri mereka sebagai anak nakal, serta berperilaku seperti anak nakal.

    Namun kejadian tersebut bukannya proses yang selalu demikian; dengan kata lain, penyimpangan tidaklah selamanya seperti dicampakkan kebawah tanpa dapat berbuat apa-apa. Sang penyimpang tetap mempunyai pilihan. Maksudnya dalam proses menjadi seorang yang nakal, orang itu sendirilah yang menentukan arahnya.

Penutup
     Mungkin sudut pandang Teori Penjulukan sangat empatis pada korban atau devian, dan menempatkan masyarakat sebagai institusi pemberi label. Namun tentu banyak hal lain juga yang masih perlu dijelaskan. Seolah-olah kita menganggap masyarakat agen opini pemberi label (di satu pihak), padahal hakekatnya menjadi pertemuan yang disengaja atau tidak, individu yang diberi label juga memiliki keunikan (inheren) demikian (di lain pihak). Dirinya Bertindak sengaja dari awal untuk mejadi (to be) sesuatu atau demikian.

    Hakekatnya tetap bahwa individu memang diciptakan unik (berbeda) dan masyarakat melalui interaksi sosial telah secara konspiratif memberikan nama kepada keunikan-keunikan individu itu untuk digunakan secara bersama-sama.

Terimakasih…
 
Picture
     Di dunia ini terdapat banyak bentuk sistem pers yang berlaku. Sistem pers tersebut biasanya terbentuk atau diberlakukan sesuai dengan kondisi perpolitikan dan pemerintahan di suate negara. Sehingga setiap tempat tentu menganut sistem pers yang berbeda pula. artikel berikut ini membahas macam-macam sistem pers secara global, teori terkait sistem pers serta bahasan terkait sistem pers yang berlaku di Indonesia. Selamat menyimak...

SISTEM PERS GLOBAL

PERS OTORITER


Perkembangan otorisme pada pertengahan abad ke-15 juga menyebabkan timbul satu konsep otoriter di kehidupan pers di dunia, berawal di Inggris, Perancis dan Spanyol dan kemudian menyebar ke Rusia, Jerman, Jepang, dan negara-negara lain di Asia dan Amerika Latin pada abad ke-16. Dengan prinsip dasar otorisme yangcukup sederhana bahwa pers hadir untuk mendukung negara dan pemerintah. Mesin cetak yang ketika itu baru diciptakan tidak dapat digunakan untuk mengecam dan menentang negara atau penguasa. Pers bertungsi secara vertikal dari atas ke bawah dan penguasa berhak menentukan apa yang akan diterbitkan atau disebarluaskan dengan monopoli kebenaran di pihak penguasa. Konsep ini didukung oleh teori Hegel, Plato dan Karl Marx yang pada inti ajarannya (meskipun cenderung pada konsep sosialisme) mengagungkan negara sedemikian rupa dan berpendapat bahwa negara memiliki hak dan kewajiban untuk membela dan melindungi dirinya sendiri dengan segala cara yang dipandang perlu. Kekuatan pers yang diakui sebaga ikekuatan keempat (fourth estate) menyebabkan negara atau penguasa mengalami phobia terhadap pers yang selalu menjadi pihak yang pertama tahu dan biang untuk menyebarkan kelemahan dan cela atau hal-hal yang merugikan negara atau penguasa.

Bagi penguasa otoriter keanekaragaman dapat menimbulkan konflik dan ketidak sepakatan yang akibatnya sangat mengganggu dan bahkan sering subversif. Konsensus dan keseragaman merupakan tujuan yang logis dan dapat dipahami dalam komunikasi massa. Seperti pendapat yang dikemukakan Samuel Johnson bahwa setiap masyarakat memiliki hak untuk mempertahankan ketertiban dan perdamaian di depan umum, maka masyarakat berhak untuk melarang penyebaran pendapat yang cenderung berbahaya.

Pendapat ini yang sebenarnya tidak masukakal juga bagi pemimpin atau penguasa negara berkembang yang miskin yang dihadapkan pada kenyataan bahwa keharusan untuk melakukan integrasi politik danpembangunan ekonomi lebih diutamakan akhirnya tidak bisa membiarkan pendapat-pendapat atau pandangan yang dianggapnya dapat mengganggu dan menghasut. Berkaitan dengan konsep integritas yang diharapkan negara-negara yangsedang membangun dimana struktur masyarakatnya berada dalam masa peralihan,media massa bisa dianggap sebagai salah satu biang terganggunya perkembangan masyarakat dan ketertiban. Hal inilah belakangan menjadi bahan yang menarikperhatian mahasiswa atau sarjana komunikasi massa, dimana terdapat dugaan bahwa media massa dilihat berkaitan dengan masalah urbanisasi yang berlangsungcepat, mobilitas sosial, dan kerapuhan komunitas tradisional, yang secara khusus dihubungkan dengan dislokasi sosial, dugaan meningkatnya kebobrokan moral, kriminalitas dan kekacauan.

Munculnya film dari luar dan ketakutan bahwa komik-komik impor berpotensi untuk merusak dan menghambat perkembangan berpikir anak menjadikan pemerintah merasa memiliki hak untuk mengawasi media massa. Komunikasi massa seringkali dikatakan individualistis, impersonal, dan anomis, oleh karena itu komunikasi massa sangat menunjang punahnya kontrol sosial dan solidaritas.

Dari sinilah pemerintah atau kelas penguasa mengambil tindakan dengan melakukan kontrol pada media massa/pers. Namun pandangan ini tidak mampu lagi melihat bahwa media massa juga menciptakan integritas sosial, karena media massamampu menyatukan individu menjadi kesatuan khalayak besar, juga kemampuannya untuk menyajikan seperangkat nilai, ide, informasi, dan persepsi yang sama kepada setiap orang.

lstilah otoriter mengacu pada tingkat pengaturan pers yang sangat besar. Pers diharapkan netral, namun ditujukan dalam hubungannya dengan pemerintah atau kelas penguasa dengan pengaturan yang disengaja atau tidak disengaja pers digunakan sebagai alat kekuasan negara untuk menekan. Penyensoran pendahuluan dan hukuman atas penyimpangan dari pedoman (seperti pembredelan perusahaan penerbitan pers) khususnya yang berlaku bagi hal-hal yang politis. Bentuk penterapan dan pengungkapan teori otoriter sangat beragam, melalui perundang-undangan, pengendalian produksi secara langsung, kode etik yang diberlakukan, pajak dan jenis sanksi ekonomi lainnya, pengendalian impor media, dan hak pemerintah untuk mengangkat star ptoduksi.

Meskipun telah disadari konsep ini cenderung menekan hak-hak individu atau masyarakat khususnya untuk bebas mengungkapkan, menyebarkan, dan mendapatkan informasi dari kebenaran fakta namun disadari juga bahwa dalam masyarakat prademokrasi atau masyarakat yang berciri kediktatoran adanya kecendrungan otoriter dalam hubungannya dengan media yang umumnya tidak bersifat totaliter tidak bisa diabaikan. ltulah mengapa konsep itu tanpa disadari tetap bertahan dan berlaku dengan kenyataan bahwa pada situasi tertentu konsep otoriterisme mengungkapkan itikad yang populer dan dalam semua masyarakat terdapat berbagai situasi di mana kebebasan pers bisa jadi bertentangan dengan kepentingan negara atau masyarakat misalnya dalam suasana kekacauan yang ditimbulkan teroris dan ancaman perang. Maka banyak negara melakukan pengendalian yang besar terhadap teater, film, penyiaran dan radio yang bila dibandingkan persentasenya lebih besar dari pada terhadap surat kabar dan buku.

Secara sah atau tidak sah teori ini membenarkan penguasaan media oleh pihak yangberkuasa dalam masyarakat.Berkaitan dengan konsep otoriter yang tidak terlepas dari pemerintah ataupenguasa, di mana selain bahwa media memiliki konsekuensi dan nilai ekonomi danobjek persaingan untuk memperebutkan kontrol dan akses. Maka dalamhubungannya dengan pemerintah atau penguasa, media massa dipandang sebagaialat kekuasaan yang efektif karena kemampuannya untuk melakukan salah satu (atau lebih) dari beberapa hal berikut:

·         Menarik dan mengarahkan perhatian

·         Membujuk pendapat dan anggapan

·         Mempengaruhi pilihan dan sikap

·         Memberikan status dan legitimasi

·         Medefinisikan dan membentuk persepsi realitas

Dalam hubungan media massa dengan masyarakat, konsep otoriter ini mengambildalih bahwa media massa merupakan corong penguasa, pemberi pendapat daninstruksi serta kepuasan jiwani. Media massa bukan saja membentuk hubungan ketergantungan masyarakat terhadap media itu sendiri tetapi juga dalammenciptakan identitas dan kesadaran. Menurut C. W. Mills potensi media massadiarahkan untuk pengendalian non demokratis yang berasal 'dari atas'.

 Teori Marxis menekankan kenyataan bahwa media massa pada hakikatnya merupakan alatkontrol kelas penguasa kapitalis. Sebagai suatu kelas yang mengatur produksi kelas-kelas tersebut juga akhirnya menguasai dan menentukan gagasan pada masyarakatnya, maka gagasan mereka diidentikkan dengan gagasan penguasa.

Orang yang berada dalam kelas ini adalah orang berada yang juga terjun dalam dunia politik. Benturan kepentingan yang dialami media massa menurut McQuail berkaitan dengan operasional fungsi dan tujuan media massa di suatu negara yangditentukan oleh beberapa pihak atau unsur , yang dapat dijelaskan sebagai berikut : Teori otoriter mengenai fungsi dan tujuan masyarakat menerima dalil-dalil yang menyatakan bahwa pertama-tama seseorang hanya dapat mencapai kemampuan secara penuh jika ia menjadi anggota masyarakat. Sebagai individu lingkup kegiatannya benar-benar terbatas, tetapi sebagai anggota masyarakat kemampuannya untk mencapai suatu tujuan dapat ditingkatkan tanpa batas.

Atas dasar asumsi inilah, kelompol lebih penting daripada individu, karena hanya melaluikelompok seseorang dapat mencapai tujuannya. Teori ini telah mengembangkansuatu pemyataan bahwa negara sebagai organisasi kelompok dalam tingkat palingtinggi telah menggantikan individu dalam hubungannya dengan derajat nilai, karenatanpa negara seseorang tak berdaya untuk mengembangkan dirinya sebagai manusia beradab.

Teori hegemoni relevan dengan situasi yang timbul dari pelaksanaan konsepotoritarian ini. Gramsci memakai istilah tersebut untuk menyebut ideologi penguasa,konsep ideologi Gramsci ini menekankan pada bentuk ekspresi, cara penerapan, dan mekanisme yang dijalankan pemerintah atau penguasa untuk mempertahankan dan mengembangkan diri melalui kepatuhan para korbannya (anggota masyarakat-terutama kelas pekerja) sehingga upaya itu akan berhasil memasyarakat. Secara umum konsep otoriter ini sama dengan konsep hegemoni atau dominasi Gramsci yang artinya pemaksaan kerangka pandangan secara langsung terhadap kelas yang lebih lemah melalui penggunaan kekuatan dan keharusan ideologi yang terang-terangan.

Dewasa ini otoritarisme berkembang luas, terutama bila konsep komunis atau pembangunan dipahami sebagai perbedaan dari otoritarisme tradisional. Di negara-negara berkembang wartawan barat seringkali menghadapi berbagai macam kesulitan saat melakukan peliputan, seperti visa masuk ditolak, berita disensor,bahkan penculikan dan dipenjara.

PERS LIBERAL


Teori pers liberal atau juga dikenal dengan teori pers bebas pertama sekalimuncul pada abad ke-17 yang merupakan reaksi atas kontrol penguasa terhadappers. Teori pers liberal adalah merupakan perkembangan dari teori pers sebelumnya,yaitu teori pers otoriter yang jelas-jelas sangat didominasi oleh kekuasaan danpengaruh penguasa melalui berbagai upaya yang sangat mengekang dan menekankeberadaan pers.Selama dua ratus tabun pers Amerika dan Inggris menganut teori liberal ini,bebas dari pengaruh pemerintah dan bertindak sebagai fourth estate (kekuasaankeempat) dalam proses pemerintahan setelah kekuasaan pertama: lembagaeksekutif, kekuasaan kedua: lembaga legislatif, dan kekuasaan ketiga: lembaga yudikatif.

Dalam perkembangan selanjutnya, pada abad ini muncul new authoritarianism di negara-negara komunis sedangkan di negara-negara nonkomunis timbul new libertarianism yang disebut social responsibility theory atau teori tanggung jawab sosial. Di negara-negara yang menganut sistem demokrasi yang memberikan kebebasan kepada rakyat untuk menyatakan pendapatnya (free of expression), sampai sekarang pers tetap dianggap sebagai fourth estate.

Sebagaimana disinggung di atas. Hal ini disebabkan oleh daya persuasinya yang kuat dan pengaruhnya yang besar kepada masyarakat. Kata-kata Napoleon Bonaparte, " Aku lebih takut pada empat surat kabar yang terbit di Paris daripada seratus serdadu dengan senapan bersangkur terhunus", masih berlaku. Pers diperlukan, tetapi juga ditakuti.

Konsep pers yang diterapkan di Barat merupakan penyimpangan demokratis dari kontrol otoritarian tradisional. Perjuangan konstitusional yang panjang di Inggris dan Amerika Serikat lambat-laun telah melahirkan sistem pers yang relatif bebas dari kontrol pemerintah yang sewenang-wenang. Pada kenyataannya, definisi tentang kebebasan pers merupakan hak dari pers untuk melaporkan, mengomentari dan mengkritik pemerintah. lni disebut "hak berbicara politik". Sejarah mencatat, fitnah yang menghasut berarti kritik terhadap pemerintah, hukum, atau pejabat pemerintah. Ketiadaan dalam suatu negara, fitnah yang menghasut sebagai kejahatan dianggap sebagai ujian terhadap kebebasan menyatakan pendapat yang secara pragmatis dibenarkan sebab berbicara yang relevan secara politik merupakan semua pembicaraan yang termasuk dalam kebebasan pers.

Dengan ujian yang dibutuhkan adalah hak berbicara politik. konsep Barat jarang digunakan dalam dunia saat ini, meskipun banyak pemerintah otoritaian memberikan basa-basi. Pers yang benar-benar bebas dan independen hanya ada disebagian kecil negara-negara Barat yang memiliki karakter sebagai berikut:

1.      Suatu sistem hukum yang memberikan perlindungan yang berati bagi kebebasan sipil perorangan (di sini bangsa yang menerapkan common law, yaitu hukum yang menjamin kebebasan individu bagi rakyat untuk menyatakan pendapat, seperti Amerika Serikat dan Inggris) tampaknya menerapkan sistem pers yang lebih baik ketimbang Perancis atau Itali yang menerapkan tradisi civil law;

2.      Tingkat pendapatan rata-rata yang tinggi dalam : income per kapita, pendidikanmelek-huruf;

3.      Pemerintahan dengan sistem multipartai, demokrasi parlementer atau sekurang-kurangnya dengan oposisi politik yang sah;

4.      Modal cukup atau perusahaan swasta diperbolehkan mendukung media komunikasi berita;

5.      Tradisi yang mapan mengenai kemandirian jurnalistik.

Daftar bangsa yang memenuhi kriteria pers Barat ini termasuk America Serikat, Inggris, Kanada, Swedia, Jerman, Belanda, Belgia, Perancis, Austria, Australia, Selandia Baru, Swiss, Norwegia, Denmark, Irlandia, Itali dan Israel disamping negara yang sangat maju dan telah terbaratkan, seperti Jepang.

Para wartawan di banyak negara lain mendukung dan mempraktekkan konsep ini, tetapi karena pergeseran politik, pers mereka bergerak maju-mundurantara kebebasan dan pengendalian (pengawasan). Negara-negara ini termasuk Spanyol, Yunani, India, Kolombia, Turki, Venezuela, Srilangka, dan Portugal.

Pada umumnya , bangsa-bangsa Barat yang memenuhi kriteria tersebut sedikit jumlahnya. Mereka sering melakukan pengumpulan berita dunia dari bangsa-bangsa lain dan korespondennya bahkan sering bersitegang dengan rezimotoritarian. Karena konsep Barat berpegang kuat bahwa pemerintah--di mana pun pemerintah itu-- tidak boleh mengganggu proses pengumpulan dan penyebaran berita. Pers, menurut teori, harus mandiri dari kekuasaan dan harus berada di luar pemerintah sebagai kekuatan negara yang keempat yang dilindungi oleh hukum dan adat istiadat dari kesewenang-wenangan campur tangan pemerintah. Tidak banyak wartawan di dunia bekerja dalam kondisi semacam ini.

Pemikiran jurnalistik Barat merupakan hasil sampingan dari Zaman Pencerahan (abad pertengahan) dan tradisi politik liberal seperti tercermin pada tulisan John Milton, John Locke, Thomas Jefferson, dan John Stuart Mill. Utamanya, harus ada keragaman pandangan dan sumber berita di "bursa pemikiran" agar khalayak dapat memilih apa yang ingin dibaca dan dipercaya. Tak seorang pun dan kekuasaan manapun, spritual atau temporal, memiliki monopoli kebenaran. Judge Learned Hand mengatakan: Bahwa industri surat kabar merupakan satu dari seluruh kepentingan umum yang paling vital; penyebar dan berita dari banyak sumber yang berbeda-beda denganbanyak tahap adalah mungkin. Ini menunjukan bahwa kesimpulan yang benar agaknya mungkin diperoleh lewat banyaknya lidah daripada melalui bentukseleksi otoritaian. Bagi banyak orang, ini merupakan pendapat yang selalu konyol; tapi kita telah mempertaruhkannya dengan segala milik kita.

Yang mendasai proses untuk "membenarkan diri-sendiri" (self-righting) adalah keyakinan bahwa warga negara akan menentukan pilihan yang benar terhadap apa yang harus dipercayainya jika cukup suara didengar dan pemerintah berlepas tangan. Dalam konteks intenasional, ini berarti harus ada arus informasi bebas yang tidak dihalangi oleh campur tangan negara manapun. Pemerintah dimanapun tidak boleh merintani pengumpulan berita yang sah.lni tidak berati bahwa media berita Barat tidak memiliki kekurangan yang serius.

Kebebasan politik tidak menghalangi kontrol ekonomi dan campur tangan terhadap praktek jumalistik. Suatu sistem media yang dimiliki swasta, dalam derajat yang berbeda, akan mencerminkan kepentingan dan kepedulian pemiliknya. Supaya tetap bebas dari control luar, termasuk pemerintah, media harus kuat secara financial dan menguntungkan. Tapi keunggulan dan keuntungannya tidak memiliki arah yang sama, meskipun beberapa media berita yang terbaik sangat menguntungkan pemiliknya.

Bagaimanapun, mencari uang merupakan tujuan utama jumalistik. Dan bagi mereka, kemandirian serta pelayanan publik kurang memiliki makna (atau sedikit diberi perhatian). Lagi pula, keanekaragaman di tingkat nasional dan intemasional tampak sedang mengalami kemerosotan. Meningkatnya monopoli media dan pemusatan pemilikan telah mengurangi jumlah suara bebas yang terdengar di perdebatan terbuka. Semakin banyak surat kabar, majalah, dan stasiun siaran yang menjadi bagian dari konglomerasi media yang sangat besar. Di beberapa negara demokrasi seperti Norwegia dan Swedia, pemerintah memelihara keanekaragaman pandangan politik dengan memberikan bantuan kepada surat kabar dari berbagai partai politik,suatu praktek yang bukan tanpa bahaya potensial terhadap kebebasan pers.

Beberapa perusahaan dalam konsep Barat jatuh di bawah rubrik tanggung jawab sosial (social responsibility). lni berarti bahwa media mempunyai kewajiban yang jelas dengan memberikan pelayanan publik termasuk di dalamnya ukuran-ukuran profesional bagi wartawan serta pelaporan yang jujur dan objektif. Media juga berkewajiban menjamin bahwa semua suara dan pendapat masyarakat didengar. Lagi pula, pemerintah diberi peran terbatas dalam mencampuri urusan operasional media dan dalam mengatur peraturan jika kepentingan umum tidak akan dilayani secukupnya.

Peraturan pemerintah dalam siaran di negara-negara Barat menunjukkan contoh yang baik mengenai kedudukan tanggung jawab sosial. Pada umumnya, negara-negara di dunia, khususnya di negara-negara barat yang memiliki sistem pemerintahan liberal, teori pers seperti ini sudah merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam kehidupan bernegara masyarakatnya. Teori pers liberal ini pada masa sekarang sudah dipandang secara luas sebagai prinsip pengabsahan yang utama bagi media cetak dalam demokrasi liberal.

Pada dasarnya teori pers liberal adalah merupakan teori yang sederhana dan merupakan teori yang berisi atau menimbulkan ketidak konsistenan mendasar. Dalam bentuk yang paling dasar, teori ini hanya menyatakan bahwa seseorang seyogyanya diberi dan memiliki kebebasan untuk mengungkapkan pendapat, pikiran, gagasan,ataupun ide-idenya. Hal ini disebabkan kerena teori pers ini menganggap kebebasan untuk menyatakan pendapat, pikiran, gagasan, ataupun ide mutlak merupakan hakasasi manusia. Setiap orang dianggap memiliki hak untuk berpendapat secara bebas dan berhak pula untuk mengungkapkannya, selain itu setiap orang juga memiliki hak untuk bergabung dan berserikat dengan yang lain. Dengan demikian, prinsip dan nilai-nilai yang mendasarinya identik dengan prinsip dan nilai-nilai yang dianut olehnegara demokrasi liberal, yaitu adanya keyakinan akan keunggulan individu, akal sehat, kebenaran dan kemajuan, dan pada akhimya adanya kedaulatan kehendak rakyat.

Kesulitan dan kemungkinan ketidak konsistenannya hanya timbul pada saat menguraikan kebebasan pers sebagai hak fundamental, menerapkan batasan aplikasinya dan merinci bentuk lembaga yang paling tepat untuk mengungkapkan pendapat dan mencari perlindungan dalam masyarakat tertentu.

Teori ini pernah dipandang sebagai ungkapan penentangan terhadap kolonialisme (pertama sekali di koloni Amerika); sebagai wadah menyalurkan perbedaan pendapat yang berguna; sebagai argumentasi bagi kebebasan beragama; sebagai sarana menentang kesewenangan; sebagai sarana menegakan kebenaran dan pada intinya sebagai suatu hal yang menjadi keharusan praktis. Teori pers bebas dipandang sebagai komponen yang penting dari masyarakat yang bebas dan rasional. Perkiraan yang paling mendekati kebenaran akan timbul dari pengungkapan sudut pandang lain dan kemajuan bagi masyarakat akan bergantung pada pilihan pemecahan yang "benar" daripada yang "salah".

Dalam teori politik tentang pencerahan (enlightement), diasumsikan bahwa dalam setiap kasus, terdapat titik temu antara kemaslahatan masyarakat, kesejahteraan umum, dan kemaslahatan perseorangan dalam masyarakat itu, yang hanya dapat mereka persepsikan dan ungkapkan. Kelebihan pers liberal dalam kaitannya dengan hal tersebut yaitu bahwa dengan pers bebas, dimungkinkan adanya pengungkapan dan memungkinkan masyarakat memenuhi aspirasinya.

Kebenaran, kesejahteraan, dan kebebebasan harus berjalan seiring danpengendalian pers yang ketat dan berlebihan pada akhirnya hanya akan menimbulkan ketidaknalaran dan penekanan yang juga akan berdampak pada masyarakat. Pers yang terkekang tidak akan mungkin dapat menjadi sarana informasi dan aspirasi masyarakat yang sejati. Pers yang terbelenggu tidak akan pernah bisa menjadi sarana pembelajaran dan pendewasaan masyarakat dalam menghadapi realitas kehidupan yang sebenarnya.

Meskipun dalam teorinya, pers liberal merupakan bentuk pers yang palingideal, tetapi dalam aplikasinya kebebasan pers masih jauh dari apa yang diharapkan.Persoalan tentang apakah hal itu merupakan tujuan pers itu sendiri, sebagai saranauntuk mencapai tujuan, atau merupakan hak mutlak belum benar-benarterwujudkan. Ada yang menyatakan bahwa apabila kebebasan pers itu dipasung sampai tingkat yang mengancam moral yang baik dan kewenangan negara, makahal itu harus dikekang.

Menurut de Sola Pool (1973), "Tidak ada negara yang akan benar-benar mentolerir kebebasan pers yang mengakibatkan perpecahan negara dan membuka pintu banjir kritik terhadap pemerintah yang dipilih secara bebas yang memimpin negara itu. "Di hampir semua masyarakat yang telah mengakui kebebasan pers, pemecahannya adalah dengan membebaskan pers dari sensor pendahuluan, tetapi pers tidak bebas dari adanya peraturan perundang-undangan yang mengatur setiap konsekuensi aktivitasnya yang melanggar hak orang lain dan tuntutan yang sah dari masyarakat. Perlindungan orang-orang secara individu, kelompok, minoritas (atasreputasi, harta benda, kemerdekaan pribadi, perkembangan moral), serta keamanan dan bahkan kehormatan negara seringkali lebih diutamakan dari pada nilai mutlak kebebasan untuk mempublikasikannya.

Banyak kesukaran yang juga telah timbul dari bentuk lembaga dimana kebebasan pers telah mewujud. Dalam banyak keadaan, kebebasan pers telahmenyatu dengan hak pemilikan dan telah digunakan untuk mewujudkan hak memiliki dan menggunakan sarana publikasi tanpa kekangan atau campur tangan pemerintah. Pembenaran utama bagi pandangan ini, yaitu bahwa disamping adanya asumsi bahwa kebebasan pada umumnya berarti kebebasan dari pemerintah, adalah melalui pengalihan analogi "pasar gagasan bebas" yang diungkapkan di atas pasarbebas yang sesungguhnya dimana komunikasi merupakan hal yang baik untuk diproduksi dan dijual.

Oleh karena itu, kebebasan mempublikasikan barns dipandang sebagai hak milik yang mengamankan keragaman sebanyak yang ada dan diungkapkan oleh konsumen bebas yang mengajukan permintaan mereka ke dalam pasar. Dengan demikian, kebebasan pers disamakan dengan pemilikan media secara privat danbebas dari campur tangan dalam pasar. Tidak hanya mengandung monopoli dalampers dan media lain yang membuat proposisi ini sangat meragukan tetapi kadarkepentingan finansial eksternal dalam pers bagi banyak orang tampaknya jugamerupakan sumber kendala yang sama potensinya seperti setiap tindakanpemerintah atas kemerdekaan mengungkapkan pendapat. Tambahan pula, dalam suasana modern, gagasan tentang pernilikan pribadi yang menjamin hak seseorang untuk menerbitkan tampaknya mustahil.

Masalah dan ketidak konsistenan tertentu lainnya juga dapat dikemukakan. Pertama, tidak jelas sejauh mana teori itu dapat dipandang berlaku bagi siaran publik, yang sekarang bertanggung jawab bagi sebagian besar aktivitas media dalam masyarakat yang masih tetap terkait dengan idaman kemerdekaan perorangan, dan sesungguhnya, sebarapa jauh hal itu berlaku bagi lingkup aktivitas komunikasi yang penting lainnya dimana kebebesan itu mungkin sama pentingnya seperti dalam pendidikan, kebudayaan, dan kesenian. Kedua, teori ini tampaknya dirancang untuk melindungi opini dan keyakinan serta kurang bemilai "informasi". Ketiga, teori ini telah terlalu sering dirumuskan untuk kepentingan pemilik media dan tidak dapat memberikan kesempatan yang sama untuk mengungkapkan pendapat tentang hak para editor dan wartawan yang dapat dipersoalkan dalam pers, atau hak audiens, atau pewaris lain yang mungkin, atau korban dari pengungkapan bebas. Keempat,teori ini mengharamkan pengendalian wajib tetapi tidak memberikan cara yang jelas untuk membatasi berbagai tekanan yang ditujukan pada media, khususnya, namun bukan satu-satunya, yang timbul dari lingkungan pasar.  

Untuk jelasnya, maka gagasan tentang teori pers bebas dapat diungkapkan dalam beberapa prinsip berikut:

·         Publikasi seyogyanya bebas dari setiap penyensoran pendahuluan oleh pihakketiga.

·         Tindakan penerbitan dan pendistribusian seyogyanya terbuka bagi setiaporang atau kelompok tanpa memerlukan izin atau lisensi.

·         Kecaman terhadap pemerintah, pejabat, atau partai politik (yang berbedadari kecaman terhadap orang-orang secara pribadi atau pengkhianatan dangangguan keamanan) seyogyanya tidak dapat dipidana, bahkan setelahterjadinya peristiwa itu.

·         Seyogyanya tidak ada kewajiban mempublikasikan semua halo

·         Publikasi "kesalahan" dilindungi sama halnya dengan publikasi kebenaran,dalam hal-hal yang berkaitan dengan opini dan keyakinan.

·         Seyogyanya tidak ada batasan hukum yang diberlakukan terhadap upayapengumpulan informasi untuk kepentingan publikasi.

·         Seyogyanya tidak ada batasan yang diberlakukan dalam impor dan eksporatau penerimaan dan pengiriman pesan di dalam negeri maupun antarnegara.

·         Wartawan seyogyanya mampu menuntut otonomi profesional yang sangattinggi di dalam organisasi mereka.

Walaupun pada dasamya kebebasan pers merupakan idaman, bukan hanyabagi kalangan pers itu sendiri, tetapi juga bagi masyarakat karena masyarakatlah yang menjadi konsumen informasi melalu pemberitaan pers tetapi kebebasan pers dalam prakteknya tidaklah benar-benar bebas dari segala bentuk kepentingan. Pers yang bebas bukan berarti pers yang benar-benar independen dan tidak memihak.Karena bagaimanapun juga, pers itu memiliki kepentingan tertentu. Jikapun lepas dari pemerintah, pers bebas tetap bersandar pada kepentingan para pemilik modal, dalam hal ini pemilik media yang ditumpangi oleh para pelaku pers. Terkadang halinilah yang menjadi dilema bagi kalangan pelaku pers, dimana di satu pihak iaberupaya untuk dapat memberikan dan menyajikan informasi yang benar-benar"netral" , berimbang dan sesuai dengan fakta, tetapi dipihak lainnya ia harus dapat memberikan keuntungan, baik materil maupun non materil kepada para pemilik modal yang menaunginya.

Dalam negara yang menganut sistem politik liberal dan menganut asas-asas demokrasi, kehidupan persnya sangat kental dengan adanya persaingan yang bebas. Maksudnya yaitu, setiap usaha penerbitan pers secara alami berusaha untuk menarik sebesar-besamya khayalak pembaca melalui pemberitaannya masing-masing. Adanya persaingan ini, membuat para pelaku pers berlomba-lomba mencari,menulis, dan menyajikan informasi-informasi yang "besar" dan boombastis untukmenarik perhatian khalayak. Hal seperti ini merupakan hal yang lumrah, karena bagaimanapun juga pers tidak hanya melulu mengatasnamakan idealisme semata, namun dibalik semuanya itu, terdapat politik bisnis, yang tidak dapat dikesampingkan begitu saja.

Dengan adanya persaingan ini, maka pemberitaan pers menjadi beragam. Satu hal yang positif dari keadaan seperti ini, yaitu bahwa masyarakat dapat menjadi lebih dewasa, dan dapat mengarahkan masyarakat untuk menjadi rasional dan dapat berpikir logis. Hal ini disebabkan karena dengan adanya informasi yang variatif, maka masyarakat akan dapat memilah-milih sendiri informasi yang dipercayainya benar sesuai dengan rasionalitasnya masing-masing dan hasil pengamatannya di lapangan.

 

Kemajuan teknologi yang pesat juga membawa pengaruh terhadap posisi dankeberadaan pers. Teknologi yang canggih membuat masyarakat dari berbagai belahan dunia dapat dengan relatif mudah mengakses dan mendapatkan informasi-informasi dari negara lain. Televisi, radio, koran, majalah, dan juga bahkan internet mampu memenuhi kebutuhan masyarakat luas akan informasi dalam waktu yangrelatif singkat. Fenomena seperti ini menjadikan pers semakin bersaing dalam menyajikan pemberitaan.

Kesimpulan

Teori liberal berkembang di Inggris dan Amerika Serikat setelah tahun 1688. Teori pers liberal merupakan penerapan filsafat umum rasionalisme dan hak-hak ilmiah dalam bidang pers. Tugas pers yang terpenting di sini memberikan informasi, menghibur, menjual, membantu menemukan yang terbaik, dan melaksanakan kontrol sosial serta pemerintahan. Pemanfaatan pers secara terbuka, maksudnya siapapun berhak untuk menggunakannya. Pemberitaan yang dilarang berupa pemberitaan yang bersifat fitnah, cabul, tidak senonoh, dan penghianatan saatperang.

Perusahaan pers biasanya dimiliki oleh kalangan privat (swasta). Mekanisme aktivitas pers difokuskan pada tindakan memeriksa/mengontrol pemerintah dan mempertemukan kepentingan-kepentingan masyarakat. Libertarian theory akan berkembang menjadi responsibility theory. Dalam teoriliberal, pers bukan alat pemerintah melainkan sebagai alat untuk menyajikan fakta, alasan dan pendapat rakyat untuk mengawasi pemerintah (social control terhadappemerintah) sebagai berikut:

1.      Memberi penerangan kepada masyarakat

2.      Melayani kebutuhan pendidikan politik masyarakat

3.      Melayani kebutuhan bisnis

4.      Mencari keuntungan

5.      Melindungi hak warga masyarakat

6.      Memberi hiburan kepada masyarakat.

PERS KOMUNIS


Tamatnya pemerintahan komunis di USSR yang diikuti dengan pecahnya Uni Sovyet telah mendatangkan kehancuran dan penyusunan kembali hampir semua elemen dasar yang ada di negara tersbut. Sebagian dari proses itu disumbangkan oleh mass media, yang membawa kejatuhan dari sistem pers dan penyiaran yang lama. Glasnot, yang aslinya merupakan kebijakan resmi Partai Komunis, menurut konsepnya, seharusnya diarahkan untuk membuka diskusi kritis mengenai masa lalu negeri tersebut dan mengenai cara-cara untuk memperbaiki sosialisme di USSR, telah mematahkan belenggu sensor dan berkembang melewati semua batasan-batasan yang ada dan mengarah kepada kemerdekaan berbicara dan kemerdekaanpers.

Perestroika, bertujuan untuk menyusun kembali ekonomi dan masyarakat Soviet yang berlangsung antara 1985 dan 1991, telah menciptakan lingkungan-lingkungan material yang baru menciptakan fondasi untuk perkembangan pers dan penyiaran. Tahun 1992 sampai 1994 merupakan masa yang paling tak stabil bagiRusia, yang akan membuat setiap penelitian terancam menjadi basi saat dipublikasikan

Sampai akhir-akhir ini, media masa Soviet tidak mempunyai dasar hukum. Aktivitas mereka di atur oleh keputusan yang dibuat oleh badan-badan dan fungsinalis Partai Komunis. Surat keputusan tersebut mengenalkan "cara-cara sementara dan luar biasa untuk menghentikan aliran kotoran dan fitnah" dan tak pernah dicabut selama tujuh dasarwarsa pemerintahan Soviet. "Kebebasan penuh dalam batasan tanggung jawab di depan pengadilan" yang dijanjikan dalam teksnya, yang akan direalisir oleh "perundangan yang luas dan progresif" muncul melalui Undang-undang Pers dan Media lain di USSR (1 Agustus 1990) dan Undang-undangFederasi Rusia mengenai Media Masa (8 Februari, 1992).

Kebebasan informasi masa dalam hukum Rusia bersifat tak terbatas (kecuali dengan legilasi) untuk mencari, mendapatkan dan membuat serta menyebarkan informasi; kebebasan untuk mendirikan outlet media masa dan memilikinya, menggunakannya serta mengaturnya; dan kebebasan untuk mempersiapkan, memperoleh dan mengoperasikan peralatan dan perlengkapan teknis, bahan-bahan mentah serta materi yang diperuntukkan bagi produksi dan distribusi produk-produkm media masa.

Hukum Rusia menekankan ketidak layakan penyensoran, yang aslinya dikemukakan dalam Pasal 1 Undang-undang USSR mengenai Pers dan Media Masa yang Lain (Undang-undang Pers USSR). Untuk memonitor pelaksanaan statuta pers, diciptakan suatu badan khusus, Inspektorat Negara untuk Melindungi Kebebasan Pers dan Informasi Masa pada bulan September 1991 dengan mandat untuk mengusut pemerintah, pendiri, redaksi penerbitan dan stasiun radio serta TV apabila melakukan pelanggaran hukum. Badan ini dapat mengajukan tuntutan ke pengadilan untuk menutup organisasi media.

Undang-undang Dasar Rusia yang dipakai dalam referendum nasional tanggal 12Desember 1993 merupakan hukum paling mutakhir dan mungkin paling pentingyang menjamin kebebasan pers dan kebebasan berbicara. Pelarangan penyensoran disebutkan dalam undang-undang tersebut (Pasal 29) bahwa "setiap orang berhak untuk dengan bebas mencari, mendapatkan, memancarkan, membuat danmenyebarkan informasi dengan cara apapun yang tidak bertentangan denganhukum".

RUNTUHNYA PERS PUSAT

Sampai sekitar 1990, koran-koran di USSR mempunyai struktur piramida yang stabil. Di puncaknya bertengger "pers pusat": berlokasi di Moskow, koran atau majalah yang mempunyai distribusi nasional yang menampilkan kebijakan resmi Partai Komunis, pemerintah, dan berbagai badan pusat, baik milik negara atau milik masyarakat. Meskipun jumlah perusahaan pers pusat ini hanya 3% dari jumlah perusahaan koran, akan tetapi sirkulasinya sebesar 73% dati keseluruhan sirkulasi media masa di Uni Sovyet. Meskipun tidak ada hubungan antara publikasi-publikasi lokal dengan publikasi-publikasi pusat, akan tetapi jalur komando antara badan-badan yang mengaturnya seakan-akan menggambarkan hubungan seperti antara tuan dan budaknya.

Meskipun puncak piramida mempunyai jumlah koran dan majalah yang sedikit, penerbitan nasional ini merupakan penerbitan yang paling populer dipedalaman. Koran-koran ini isinya hampir sama, seringkali pula dengan opini dan editorial yang sama yang bukan cuma menjelaskan pandangan partai mengenai isu-isu politik tertentu akan tetapi juga bertindak, dalam tradisi Leninis yang terbaik, sebagai "kolektif propagandis, kolektif agitator dan kolektif organisatoris".

Majalah mempunyai kebebasan sebagai "press kelas dua", karenanya merekadapat membuat variasi gaya dan rasio propaganda mereka dalam bentuk cerita-cerita, hiburan. Dari tahun 1986 sampai 1988 Mikhael Gorbachev menanamkan orang-orang yang secara politis setia kepadanya sebagai editor-editor disurat kabar besar, sehingga peran pers pusat menjadi penting untuk meningkatkan reformasinya. Sebagaimana yang bisa dibaca di mana-mana penerbitan nasional dapat dipakai untuk berhubungan dengan masyarakat tanpa harus melewatihambatan oposisi. Kolom surat-surat pada redaksi mereka menjadi jalan yang siapuntuk menampung partisipasi mereka dalam perestroika. Prestise dan kebebasanyang diberikan oleh Kremlin pada para jurnalis membuat mereka ini menjadi sekutualami.

Tiba-tiba datang kejadian yang tidak diharapkan oleh para birokrat. Undang-undang mengenai Pers dan Media Masa lain dari USSR mengharuskan semua penerbitan di daftarkan secara resmi dengan badan-badan negara. Pada dasarnya, prosedur ini memberi kesempatan bagi star redaksi untuk mencari dan mendaftarkan"pendiri" yang mungkin berbeda dari majikan lama mereka, atau bahkan mungkin mendaftarkan koran-koran itu atas nama mereka sendiri. Tindakan ini menciptakanancaman nyata pertama kali atas piramida tersebut dengan cara memisahkan outlet-outlet yang baru bebas dari garis komando yang lama. Pada saat yang bersamaan, para redaktur yang berani dan orang-orang kaya baru mulai mengisi kekosongan-kekosongan ini.

Letupan kedua terjadi pada tahun 1991 dengan adanya larangan terhadap Partai Komunis dan nasionalisasi yang dilakukan terhadap hak milik mereka. Hal ini melahirkan pendaftaran kembali ribuan penerbitan. Beberapa diantaranya milik partai komunis terutama tingkat propinsi didatarkan dengan namaberbeda (kata-kata seperti " kommunist " , " pravda " dan "sovetsky" sudah menjadi usang); disamping itu beberapa yang lainnya memakai susunan redaksi yangberbeda, dan yang pasti mereka semua membebaskan diri dari penguasa mereka karena partai yang menguasainya tidak lagi berkuasa.

Dengan dicabutnya tonggak pemersatu ini, keseluruhan sistem pers pusat lokal menjadi ambruk karena mekanisme partai yang mendukungnya lenyap. Dalam beberapa hal negara mencoba untuk meniru sistem lama dengan menciptakan struktur yang serupa dengan struktur pemerintah dan pers di Moskow dan direpublik-republik tetapi dengan atmosfir otonomi yang lebih besar dari pemerintahan lokal dan pengurangan jepitan politik (dan, sampai batas tertentu, keinginan politis) untuk menjalankan tekanan tersebut tetapi hal itu tidak membawa hasil.

Tahun 1989 dan 1990 merupakan puncak popularitas bagi media masa pada tahun-tahun setelah Perestroika dimulai. Saat itu merupakan saat masyarakat mempunyai harapan-harapan politik tertinggi: saat Kongres Pembantu-pembantu Rakyat diamati langsung di televisi dan didengarkan di radio dengan perhatian yang begitu tinggi sehingga penurunan tajam angka-angka produksi industri dicatat selama hari-hari tersebut. Dapat dikatakan itulah masa "keracunan" dengan Glasnost.

Tiga tahun berikutnya terlihat pertumbuhan ketidak percayaan media terhadap kemunduran apatisme politik umum dan krisis ekonomi yang serius. Faktor terakhir ini menyebabkan keluarga tradisional untuk mengurangi langganan penerbitan mereka dari lima atau enam menjadi hanya satu penerbitansaja. Media tidak lagi dipandang oleh masyarakat sebagai sumber bantuan dan harapan atau sarana untuk mengutarakan pendapat mereka. Pada tahun 1988 mulai ada kecenderungan untuk lebih menyukai pers lokal dibandingkan dengan perspusat. Pertama kali, hal itu terlihat jelas di republik-repubik Persatuan yangpemikiran rakyatnya didorninasi oleh faham "nasionalisme". Dengan bertambahnya kebebasan yang diperoleh dari Moskow, maka terciptalah kebutuhan untuk kisah-kisah nasionalisme yang memberikan jalan bagi ketertarikan pada berita-berita lokal.

Riset menyatakan bahwa perhatian terhadap masalah-masalah dunia atau politik nasional telah menurun dengan tajam pada dua tahun terakhir ini. Kebanyakan orang Rusia pertama dan terutama ingin membaca hal-hal yang berkenaan dengan biaya hidup dan kriminalitas dengan kata lain, persis dengan apayang disajikan oleh pers lokal. Salah satu dari topik-topik yang kurang popular adalah masalah-masalah kesukuan, kehidupan di republik-republik lain bekas USSRdan politik luar negeri yang kesemuanya sangat menonjol di penerbitan nasional.

KEPEMILIKAN PERS

Sebagaimana yang diutarakan di atas, pers di USSR dimiliki oleh Soviets, aparat negara, dan organisasi umum (semuanya dikendalikan oleh Partai Komunis), atau langsung oleh partai, atau oleh kombinasi dari ketiganya. Dengan tumbangnya penguasa komunis, Soviet dan lembaga-lembaga negara menjadi pemilik utama, terutama pada tingkatan lokal. Pada tahun 1993 ada sebanyak 200 koran partai, 12 diantaranya diterbitkandi Moskow dan 18 di St. Petersburg. Kebanyakan partai-partai tersebut berhasil menerbitkan hanya beberapa edisi dari koran atau buletin mereka sebelum kemudian rontok.

Evaluasi kasar dari struktur kepermilikan pers Rusia menunjukkan bahwa 29%koran nasional dimiliki pemerintah federal, 30% menjadi milik organisasi publik dan partai, dan 41 % milik swasta; 21 % koran regional yang dimiliki pemerintah federal sementara 22% dimiliki swasta; sedangkan pers tingkat kota, 85% dimiliki oleh pemerintah kota sedang sisanya dimiliki oleh swasta atau umum. Dari semua Koran yang tercatat di Rusia pada tahun 1993, 57,1% merupakan milik pribadi, 23,1%milik negara (5.8% milik pemerintah kota), dan 19,8% milik organisasi umum danpartai politik (Bekker & Gurevich, 1993).

Masalah subsidi menampilkan aspek yang paling pelik dan rawan dalam hubungan antara negara dan media masa di Rusia. Di satu sisi, ketergantungan finansial dari pers terhadap negara memberikan dasar yang penting untuk mempertanyakan independensi media, obyektifitas dan keseimbangan pelaporan. Disisi lain, beberapa pihak mengatakan bahwa pers dan penyiaran, apabila diperhatikan, bukan hanya berupa alat politis atau usaha komersial saja akan tetapi juga merupakan lembaga yang memberikan keuntungan kultural dan pendidikan bagi masyarakat yang harus menikmati perlindungan dari negara. Idealnya prioritas bantuan diberikan pada surat kabar-surat kabar yang ditujukan untuk anak-anak dan pemuda, orang cacat, kelompok minoritas dan majalah-majalah sastra dan kebudayaan. Bersamaan dengan itu, berdasarkan keputusan-keputusan terpisah dari pemerintah, donasi yang besar diberikan kepada koran-koran dengan sirkulasi besar yang bekerja untuk apa yang dinamakan "ruang informasi bersama" di bekas UniSovyet, seperti Trud dan Komsomolskaya pravda.

Angka yang pasti dari subsidi tersebut tidaklah tetap. Salah satu alasannya adalah bahwa anggaran tersebut terus menerus direvisi dengan mempertimbangkan inflasi saat itu yang mencapai hampir 1 % setiap hari. Lebih-Iebih lagi, pejabat pemerintah memberikan angka yang berbeda-beda satu sama lain. Disamping itu, penerbit-penerbit penerima subsidi lebih suka untuk menekan angka-angka atau mengatakan bahwa mereka tidak dapat memperoleh jumlah yang dialokasikan sementara itu pesaing-pesaing mereka cenderung untuk menggelembungkannya.

Secara hypotetis dapat dikemukakan bahwa ketergantungan media pada subsidi dapat berbalik akibatnya pada pemerintah sendiri apabila kebutuhan pers terhadap injeksi anggaran tidak dapat dipenuhi. Kemudian "kekuatan keempat ini"akan mendukungkekuatan oposisi dan berusaha untuk menegakkan pemerintahan yang lebih memperhatikan kebutuhan mereka. Distribusi nasional pers di Rusia adalah monopoli. Distribusi dikuasai olehRospechat (Pers-Rusia), badan semi independen di bawah Kementerian Komunikasi.

Argumentasi yang pantas di sini menunjukkan bahwa Rospechat, dilihat oleh badan-badan negara sebagai badan usaha kebanyakan, yang membayar semua pelayanannya dengan tarif yang sama, misalnya, dengan restoran atau hotel untukturis asing. Pengiriman sebuah koran, yang dibayar oleh seorang pelanggan, jarang sekali dapat dikover oleh badan tersebut. Kerugian seperti ini biasanya ditutup oleh keuntungan dari pelayanan telekomunikasi, tetapi saat itu ditutup dengan surat keputusan presiden, sejak 1993 pelayanan-pelayanan ini dibebaskan dari kantor Pos. Sampai awal 1990 an sistem kantor berita di USSR terdiri atas TASS (Telegraph Agency of the Soviet Union) dengan 14 anak perusahaannya di republic Persatuan dan Novusti Press Agency. Saat ini, Rusia saja mempunyai 400 kantor berita. Dengan runtuhnya USSR, TASS berubah menjadi the Information TelegraphAgency of Russia, IT AR- TASS, memakai singkatan TASS sebagai trademark yang sudah dikenal saja.

Selama berpuluh tahun setelah pendiriannya di tahun 1925. TASS berada dibawah pengawasan Dewan Menteri USSR, kemudian dibawahPresiden USSR, pada tahun 1991 menunjuk bekas Sekretaris Persnya VitalyIgnatenko sebagai Direktur Jendralnya. Pada saat keemasannya di pertengahan1980 an, TASS mempunyai biro-biro dan koresponden di 110 negara aging (saat inihanya tinggal 75 negara), menjadi sumber informasi utama bagi rakyat Sovyet tetang kehidupan di luar negeri dan peristiwa-peristiwa di dalam negeri; saat itu merupakan salah satu kantor berita lima besar dunia.

Kantor berita ini masih merupakan badan setengah resmi yang dipakai oleh pemerintah Rusia untuk membuat pandangan-pandangannya diketahui secara luasoleh publik dunia, disamping untuk mengedarkan dokumen-dokumen resmi. Yang akan kita saksikan dimasa yang akan datang adalah kelahiran dan penguatan dari kantor-kantor berita tingkat lokal, yang dilihat oleh parlemen dan pemerintah bekas republik-republik otonomi sebagai bagian yang paling penting dari kedaulatan mereka yang sedang tumbuh.

Di tahun-tahun akhir 1980 an pers Rusia memperoleh tingkat kebebasan yang tak pernah dicapai sebelurnnya selama hampir tiga abad; beberapa analis bahkan menyebut tahun-tahun perestroika sebagai "zaman keemasan" (Tolz, 1992). Akan tetapi, sejak 1990, keadaan dari media cetak memburuk disebabkan olehtekanan ekonomi dan ketergantungannya yang bertambah parah kepada subsidi pemerintah. Sampai saat ini hanya beberapa penerbitan yang telah mencapai kemerdekaan finansial dari pemerintah atau kelompok politik tertentu yang melihat mereka (dalam tradisi lama negara itu) sebagai corong ke masyarakat dan sebagai alat untuk penguasaan politik. Tugas untuk menyusun dan memperkuat masyarakat demokratis, merupakan persyaratan bagi kebebasan mereka yang sebenarnya dan abadi, memerlukan tanggung jawab dan mempunyai efek dibandingkan penggulingan mesin komunis.

Penutup

Kesimpulan yang bisa ditarik dari pembahasan di atas, sistem pers soviet menganut beberapa prinsip sebagai berikut:

1.      Media Massa harus melayani kepentingan dan, dan berada dalam kontrol kelaspekerja.

2.      Kalangan swasta tidak dibenarkan memiliki media.

3.      Media harus selalu melakukan tugas fungsi positif bagi masyarakat dengan caramelakukan upaya sosialisasi norma-norma yang diinginkan, pendidikan,penerangan, motivasi dan mobilisasi.

4.      Dalam menjalankan seluruh tugasnya kepada masyarakat, media harus tanggapterhadap kebutuhan dan keinginan khalayaknya.

5.      Masyarakat berhak melakukan sensor dan tindakan hukum lainnya dalam upayamencegah atau memberikan hukuman setelah terjadinya peristiwa publikasi yangbersifat anti-sosial.

6.      Media harus memberikan pemikiran dan pandangan yang lengkap dan objektif mengenai masyarakat dan duma yang sesuai dengan ajaran Marxisme-Leninisme.

7.      Wartawan adalah kalangan profesional yang bertanggung jawab yang memilikitujuan dan cita-cita yang selaras dengan kepentingan utama masyarakat.

8.      Media harus mendukung gerakan-gerakan progresif di dalam dan di luar negeri

TEORI TANGGUNG JAWAB SOSIAL (SOCIAL RESPONSIBILITY THEORY)


Pers sebagai suatu sistem sosial selalu tergantung dan berkaitan erat dengan masyarakat dimana ia beroperasi. Pers itu sendiri lahir untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan informasi sehingga ia berkedudukan sebagai lembaga masyarakat (institusi sosial). Sementara itu segala aktivitas pers tergantung pada falsafah yang dianut oleh masyarakat dimana pers itu berada. Lyod Sommerlad menyatakan, sebagai institusisosial, pers mempunyai fungsi dan sifat yang berbeda tergantung pada sistempolitik, ekonomi dan struktur sosial dari negara dimana pers itu berada. Hal senada disampaikan John C. Merril, "A nation's press or media closely tied to the politicalsystem." (John C. Merril, "A Conceptual Overview of World Journalism" dalam International Intercultural Communication, Heinz Dietrich Fischer & John C. Merril,Hasting House Publisher, New York)Bagi Siebert, Peterson dan Schramm, buku Four Theories of the Press mencoba memahami mengapa negara-negara yang berbeda memiliki pola hubungan yang berbeda pacta medianya. Pers selalu mengambil bentuk dari struktur sosial dan politik dimana pers itu beroperasi atau dengan kata lain, mempelajari suatu masyarakat dan sistem politiknya kita akan belajar memahami mengapa persnya menjadi sedemikian rupa.

Jika ditelaah lebih jauh, tambah mereka dalam bagian pengantar buku tersebut, dunia barat sesungguhnya hanya mengenal dua dari teori pers, model autoritarian dan libertarian. Soviet Communist model, menurut mereka, merupakan variasi dari autoritarian sementara social responsibility model adalah perkembangan/peningkatan dari libertarian. Dasar pemikiran utama dari teori ini ialah bahwa, kebebasan dan kewajibanber langsung secara beriringan dan pers yang menikmati kedudukan dalam pemerintahan yang demokratis berkewajiban untuk bertanggung jawab kepada masyarakat dalam melaksanakan fungsinya.

Pada hakikatnya fungsi pers dalam teori tanggung jawab sosial ini tidak berbeda jauh dengan yang terdapat pada teori libertarian namun pada teori yang disebut pertama terefleksi semacam ketidakpuasan terhadap interpretasi fungsi-fungsi tersebut beserta pelaksanaannya oleh pemilik dan pelaku pers dalam model libertarian yang ada selama ini. Penganut libertarian mempercayai bahwa orang dapat mengetahui kebenaran saat mereka boleh memilih dan pers sebagai penyedia ide-ide/pasar ide. Mereka percaya bahwa media itu beragam dan independen dan orang-orang memiliki akseske media.

Namun kenyataan yang terjadi adalah pers itu menjadi berorientasi profit, dimana lebih mengutamakan penjualan dan iklan di atas kebutuhan untuk menjaga publik mendapat informasi lengkap dan akurat sehingga membahayakan moral publik, melanggar hak-hak pribadi dan dikontrol oleh satu kelas sosioekonomi, yaitu kelas bisnis yang membahayakan pasar ide yang bebas dan terbuka. Teori tanggung jawab sosial berasal dari Commission on Freedom of the Press (Hutchins, 1947) sebagai reaksi atas interpretasi dan pelaksanaan model libertarian yang ada. Komisi tersebut merumuskan beberapa persyaratan pers sebagai berikut:

1.      Memberitakan peristiwa-peristiwa sehari-hari dengan benar, lengkap danberpekerti dalam konteks yang mengandung makna.

2.      Memberikan pelayanan sebagai forum untuk saling tukar komentar dan kritik.

3.      Memproyeksikan gambaran yang mewakili semua lapisan masyarakat

4.      Bertanggung jawab atas penyajian disertai penjelasan mengenai tujuan dan nilai-nilai masyarakat

5.      Mengupayakan akses sepenuhnya pada peristiwa sehari-hari

Secara umum suatu berita haruslah mendukung konsep non-bias, informatif dan institusi pers independen yang akan menghindari penyebab ancaman terhadap kaum minoritas atau yang mendorong tindak kejahatan, kekerasan dan kekacauan sipil. Tanggung jawab sosial seyogyanya dicapai melalui self control/kontrol diri (dari pers itu), bukan dari pemerintah. Tanggung jawab sosial jika dikaitkan dengan jurnalis melibatkan pandangan yang dimiliki oleh pemilik media yang serta merta akan dibawa dalam media tersebut haruslah memprioritaskan tiga hal yaitu keakuratan, kebebasan dan etika. Tak pelak lagi profesionalisme menjadi tuntutan utama disini. Jadi pelaku pers tidak hanya bertanggung jawab terhadap majikan dan pasar namun juga kepada masyarakat.

Dalam konsep tanggung jawab sosial media dituntut menerima dan memenuhi kewajiban tertentu kepada masyarakat, dimanakewajiban itu dipenuhi dengan menetapkan standar yang tinggi atau profesionaltentang keinformasian, kebenaran, ketepatan, objektivitas dan keseimbangan. Media juga harusnya dapat mengatur diri sendiri dalam kerangka hukum danlembaga yang adaSecara singkat teori tanggung jawab sosial ini dapat disimak dalam baganberikut ini :

Teori Tanggung Jawab Sosial

Masa berkembangnya Di AS pada abad ke-20 Pelopor Commission on Freedom of Fress Tujuan Utama Memberi informasi, menghibur, menjual (komersil) namun terutama untuk membangkitkan konflik yang membentuk diskusi Siapa yang berhak menggunakan media ? Setiap orang yang memiliki sesuatu yang ingin dikatakan. Bagaimana media dikontrol ? Opini publik, aksi konsumen, etika profesi Kepemilikan Swasta, kecuali jika pemerintah mengambil alih untuk memastikan pelayanan public Perbedaan mendasar dari teori-teori lain Media harus mengambil kewajiban dari tanggung jawab sosial, dan jika mereka lalai, harus ada yang memastikan mereka melaksanakannya. Jika teori libertarian dilahirkan dari konsep kemerdekaan negatif, yang didefinisikan sebagai kemerdekaan dari/kebebasan dari pengekangan eksternal. Sedangkan teori tanggung jawab sosial berpijak pada konsep kebebasan positif, yaitu kebebasan untuk menghendaki menjadi sarana untuk mencapai tujuan yang diinginkan.


SISTEM PERS DI INDONESIA


Suatu sistem pers diciptakan untuk menentukan bagaimana sebaik-baiknya pers itu dapat melaksanakan kebebasan dan tangungg jawabnya. Faham dasar sistem pers Indonesia tercermin jelas dalam konsideran undang-undang pers, yang mengasakan bahwa “ Pers Indonesia ( nasional ) sebagai wahana komunikasi massa, penyebar informasi, dan pembentuk opini harus dapat melaksanakan asas, fungsi, hak, kewajiban, dan peranannya dengan sebaik-baiknya berdasarkan kemerdekaan pers yang profesional, sehingga harus mendapat jaminan dan perlindungan hukum, serta bebas dari campur tangan dan paksaan darimanapun”.





Sistem Pers Orde Lama.

Sistem Pers diciptakan untuk menentukan bagaimana sebaiknya pers tersebut dapat melaksanakan kebebasan dan tanggung jawabnya. Sistem kebebasan pers Indonesia sendiri merupakan bagian dari sistem kemerdekaan yang lebih luas, yaitu kemerdekaan untuk mengeluarkan pikiran dan pendapat dengan lisan dan tulisan sebagaimana tercantum dalam Pasal 28 UUD 1945, yang harus diatur lebih lanjut dalam undang-undang. Namun kenyataannya selama kurang lebih 17 tahun undang-undang yang mengatur kehidupan pers itu tidak pernah terwujud, hanya baru sampai pada rancangan dan pembicaraan-pembicaraan.

Rancangan undang-undang pers yang dipersiapkan oleh panitia pers dan perencanaan perundang-undangan pers telah diserahkan kepada Menteri Penerangan pada tanggal 11 Agustus 1954 dan sembilan bulan kemudian, pada tanggal 11 Mei 1955 rancangan undang-undang tersebut telah disampaikan kepada kabinet Ali Sastroamidjojo. Namun selanjutnya nasib rancangan undang-undang ini tak menentu lagii rimbanya, karena hingga berakhirnya era demokrasi liberal, Sistem Pers Indonesia belum memiliki undang-undang sebagai landasan yuridisnya.

Di era demokrasi terpimpin para tokoh pers terus berusaha agar rancangan undang-undang pers dapat disahkan। Para penguasa pun berulangkali membicarakan tentang pengesahan undang-undang pers, namun baru pada akhir kepemimpinannya 12 Desember 1966, Presiden Soekarno mengesahkan UU No. 11 Tahun 1966 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pers. Undang-undang ini nantinya menjadi landasan yuridis sistem pers di awal pemerintahan orde baru.

Sistem Pers Orde Baru.

Semenjak diundangkannya Undang-Undang Pokok Pers No. 11 tahun 1966, Menurut S.Tasrif Sistem Pers Orde Baru mengalami kebebasan yang cukup luas geraknya. Namun setelah peristiwa “ Malari “ tahun 1974, kebebasan pers mengalami set-back. Beberapa surat kabar dilarang terbit dan pengawasan terhadap kegiatan pers serta wartawan diperketat. Larangan-larangan dari penguasa lebih digiatkan seperti larangan melalui telepon agar pers tidak menyiarkan berita tertentu, atau dengan jalan memperingatkan wartawan untuk lebih mentaati kode etik jurnalistik sebagai “ self cencorship “.

Lembaga-lembaga pers yang ada pada waktu itu adalah :

Dewan Pers, yaitu merupakan lembaga tertinggi dalam sistem pembinaan pers di Indonesia, dan memegang peranan utama dalam pembangunan pelembagaan bagi pertumbuhan dan perkembangan pers. Walaupun demikian, pembinaan pers berada ditangan pemerintah (Menteri Penerangan, yang dalam pemerintahan reformasi kemudian ditiadakan).

Organisasi Pers, yang termasuk kedalam katagori organisasi pers adalah Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), Serikat Penerbit Surat Kabar (SPS), Serikat Grafika Pers (SGP), dan Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia (P3I).

Indonesia pernah menganut sistem pers otoriter dan sistem pers liberal sebelum akhirnya menganut sistem pers tanggung jawab sosial. Ketika masa orde baru, pers Indonesia sempat menganut sistem pers otoriter, dimana Pemerintah melalui Departemen Penerangan pada masa itu mengontrol seluruh kegiatan pers, mulai dari keharusan memiliki SIUPP bagi lembaga pers, kontrol isi yang amat ketat terhadap pemberitaan pers sampai dengan seringnya kasus pembredelan terhadap media yang dianggap mengganggu stabilitas, ketentraman dan kenyamanan hidup masyarakat dan negara. Kebebasan pers berada di tangan pemerintah. Pers tunduk pada sistem pers, sistem pers tunduk pada sistem politik.

Pasca orba (masa reformasi), pers Indonesia seakan memperoleh kebebasannya yang selama ini tidak pernah benar-benar dirasakan. Pemerintahan Habibie yang pada masa itu menggantikan Soeharto mencabut SIUPP kemudian masa pemerintahan berikutnya di bawah pemerintahan Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan Megawati Soekarnoputri, pemerintah membubarkan Departemen Penerangan. Era kebebasan pers pun dimulai. Sistem pers Indonesia pun berubah menjadi sistem pers liberal. Hal ini dapat dilihat melalui minimnya self censhorsip pada media, artinya media lemah dalam melihat apakah suatu berita layak dimunculkan dan sesuai dengan keinginan masyarakat. Hal ini bisa dilihat dengan maraknya kemunculan berbagai media yang mengangkat tema pornografi guna memenuhi permintaan pasar. Selain itu, muncul pula kecenderungan media untuk mengadili seseorang bersalah sebelum munculnya keputusan hukum oleh pengadilan. Hal ini dapat dilihat pada kasus Soeharto.

Pada awal-awal masa reformasi, media seakan-akan berlomba untuk mengadili sosok Soeharto। Namun lambat laun sistem pers Indonesia mulai berubah dan menyesuaikan dengan ideologi serta etika dan moral yang berkembang di masyarakat. Mulai selektifnya masyarakat dalam memilih media yang akan dikonsumsi menyebabkan lambat laun media-media jurnalisme “lher” hilang dengan sendirinya karena kurang mampu bersaing dengan media-media yang lebih berkulitas dan edukatif dalam menyampaikan informasi.

Sistem Pers Reformasi

Pada masa reformasi, pers Indonesia menikmati kebebasan pers. Pada masa ini terbentuk UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Era reformasi ditandai dengan terbukanya keran kebebasan informasi. Di dunia pers, kebebasan itu ditunjukkan dengan dipermudahnya pengurusan SIUPP. Sebelum tahun 1998, proses untuk memperoleh SIUPP melibatkan 16 tahap, tetapi dengan instalasi Kabinet BJ. Habibie proses tersebut melibatkan 3 tahap saja.

Berdasarkan perkembangan pers tersebut, dapat diketahui bahwa pers di Indonesia senantiasa berkembang dan berubah sejalan dengan tuntutan perkembangan zaman.

Pers di Indonesia telah mengalami beberapa perubahan identitas. Adapun perubahan-perubahan tersebut adalah sbb :

Tahun 1945-an, pers di Indonesia dimulai sebagai pers perjuangan.

Tahun 1950-an dan tahun 1960-an menjadi pers partisan yang mempunyai tujuan sama dengan partai-partai politik yang mendanainya.

Tahun 1970-an dan tahun 1980-an menjadi periode pers komersial, dengan pencarian dana masyarakat serta jumlah pembaca yang tinggi.

Awal tahun 1990-an, pers memulai proses repolitisasi.

Awal reformasi 1999, lahir pers bebas di bawah kebijakan pemerintahan BJ. Habibie, yang kemudian diteruskan pemerintahan Abdurrahman Wahid dan Megawati Soekarnoputri, hingga sekarang ini.

Fungsi dan Peranan Pers dalam Masyarakat Demokratis Indonesia

Pers atau media amat dibutuhkan baik oleh pemerintah maupun rakyat dalam kehidupan bernegara. Pemerintah mengharapkan dukungan dan ketaatan masyarakat untuk menjalankan program dan kebijakan negara. Sedangkan masyarakat juga ingin mengetahui program dan kebijakan pemerintah yang telah, sedang, dan akan dilaksanakan.

Dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 Pasal 33 disebutkan mengenai fungsi pers, dalam hal ini pers nasional. Adapun fungsi pers nasional adalah sbb :

1. Sebagai wahana komunikasi massa

Pers nasional sebagai sarana berkomunikasi antarwarga negara, warga negara dengan pemerintah, dan antarberbagai pihak.

2. Sebagai penyebar informasi.

Pers nasional dapat menyebarkan informasi baik dari pemerintah atau negara kepada warga negara (dari atas ke bawah) maupun dari warga negara ke negara (dari bawah ke atas).

3. Sebagai pembentuk opini.

Berita, tulisan, dan pendapat yang dituangkan melalui pers dapat menciptakan opini kepada masyarakat luas. Opini terbentuk melalui berita yang disebarkan lewat pers.
4. Sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol serta sebagai lembaga ekonomi.

UU No. 40 Tahun 1999 Pasal 2 menyebutkan : “Kemerdekaan pers adalah salah satu wujud kedaulatan rakyat yang berasaskan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan, dan supremasi hukum.”

Dapat disimpulkan bahwa fungsi dan peranan pers di Indonesia antara lain sbb :

1.    media untuk menyatakan pendapat dan gagasan-gagasannya.

2.    media perantara bagi pemerintah dan masyarakat.

3.    penyampai informasi kepada masyarakat luas.

4.    penyaluran opini publik.

LANDASAN PERS INDONESIA

Pers Indonesia perlu tetap memiliki landasan untuk menghindari ironi, tirani, dan bahkan hegemoni kekuasaan dalam tubuh pers itu sendiri. Oleh karena itu, pers Indonesia memiliki landasan sebagai berikut ;

Landasan Idiil.

Landasan pertama, yakni landasan idiil pers, tetap pancasila. Artinya, selama ideologi negara tidak diganti, suka atau tidak suka, pers nasional kita harus tetap merujuk kepada pancasila sebagai ideologi nasional, dasar negara, falsafah hidup bangsa, sumber tata nilai, dan sumber dari segala sumber hukum.

Landasan Konstitusional.

Landasan yang menunjuk kepada UUD 1945 setelah empat kali dilakukan amandemen dan ketetapan MPR yang mengatur tentang kebebasan berserikat, berkumpul, dan kebebasan menyatakan pendapat dengan lisan dan tulisan.

Landasan Yuridis Formal.

Mengacu kepada UU Pokok Pers No. 40/ 1999 untuk pers, dan UU Pokok Penyiaran No. 32/ 2002 untuk radio siaran dan media televisi siaran.

Landasan strategis Operasional.

Landasan ini mengacu kepada kebijakan redaksional media pers masing-masing secara internal yang berdampak kepada kepentingan sosial dan nasional.

Landasan Sosiologis Kultural.

Landasan ini berpijak pada tata nilai dan norma sosial budaya agama yang berlaku dan sekaligus dijunjung tinggi oleh masyarakat bangsa Indonesia.

Landasan Etis Profesional.

Landasan ini menginduk kepada kode etik profesi. Setiap organisasi profesi pers harus memiliki kode etik. Secara teknis, beberapa organisasi pers bisa saja sepakat hanya menginduk kepada satu kode etik. Tetapi secara filosofis, setiap organisasi pers harus menyatakan terikat dan tunduk kepada ketentuan kode etik. Ini berarti tiap organisasi pers boleh memiliki kode etik sendiri-sendiri, boleh juga menyepakati kode etik bersama.

PENUTUP

Sistem Pers merupakan bagian atau subsistem dari sistem yang lebih besar, yaitu sistem komunikasi, sedangkan sistem komunikasi itu sendiri merupakan bagian dari sistem kemasyarakatan ( sosial ) yang lebih luas. Inti permasalahan dalam membicarakan suatu sistem pers, adalah sistem kebebasannya. Suatu sistem pers diciptakan untuk menentukan bagaimana sebaik-baiknya pers itu dapat melaksanakan kebebasan dan tangungg jawabnya.

Dilihat dari perkembangannya sistem pers Indonesia dari era suatu pemerintahan, yakni ORDE lama, ORDE baru, dan Reformasi. Sedangkan sistem pers yang saat ini dianut yakni Pers demokrasi pancasila, dimana pers harus sesuai dan sejalan dengan apa yang dicita-citakan dalam isi dari pancasila.

Secara teori sistem pers menurut Fred Siebert, Theodore Paterson, dan Wilbur Schram dalam buku “ Four Theories of The Press” ( 1963) ada empat kelompok teori sistem Pers, yaitu: Teori Sistem Pers Otoriter, Teori Sistem pers Liberal, Teori sistem Pers Komunis, dan Teori Sistem Pers Tanggung jawab sosial.

Dalam menjalankan sistem persnya Indonesia memiliki landasan persnya yakni landasan idil, landasan konstitusional, landasan yuridis formal, landasan operasional, landasan sosiologis kultural dan landasan etis profesional.




DAFTAR PUSTAKA

Eyo Kahya, Perbandingan Sistem dan Kemerdekaan Pers, Jakarta; Pustaka Bani Quraisy, 2004

Nurudin, Sistem Komunikasi Indonesia, Jakarta; PT. Raja Graffindo Persada, 2004

As Haris Sumadiria, Jurnalistik Indonesia Menulis Berita dan Feature, Bandung ; Simbiosa Rekatama Media, 2006

Eyo Kahya, Perbandingan Sistem dan Kemerdekaan Pers, ( Jakarta; Pustaka Bani Quraisy, 2004 ), h. 37.

Ibid, h. 55.

Nurudin, Sistem Komunikasi Indonesia, ( Jakarta; PT. Raja Graffindo Persada, 2004 ), h. 72-74.

As Haris Sumadiria, Jurnalistik Indonesia Menulis Berita dan Feature, ( bandung ; Simbiosa Rekatama Media, 2006 ), h. 51-53.


 
           Ketika komunikator berkomunikasi, yang berpengaruh bukan hanya apa yang dia katakan, tetapi juga bagaimana keadaan dia sendiri. Ia tidak dapat menyuruh pendengar hanya memperhatikan apa yang dia katakan. Pendengar juga akan memperhatikan apa yang ia katakan. Kadang-kadang siapa lebih penting dari apa. Lebih dari 2000 tahun yang lalu, Aristoteles menulis:

     Persuasi percapai karena karakteristik personal pembicara, yang ketika ia menyampaikan pembicaraannya kita menganggapnya dapat dipercaya. Kita lebih penuh dan lebih cepat percaya pada orang- orang baik dari pada orang lain: ini berlaku umumnya pada masalah apa saja dan secara mutlak berlaku tidak mungkin ada kepastian dan pendapat terbagi. Tidak benar, anggapan sementara penulis retorika bahwa kebaikan personal yang diungkapkan pembicara tidak berpengaruh apa-apa pada kekuatan persuasinya; sebaliknya, karakternya hampIr bisa disebut sebagai alat persuasi yang paling efektif yang dimilikinya. (Aristoteles, 195: 45) 

            Aristoteles menyebut karakter komunikator ini sebagai ethous. Ethous terdiri atas pikiran yang baik, akhlak yang baik dan maksud yang baik (good sense, good moral character, good will). Hovland dan weiss menyebut ethous ini credibility  yang terdiri atas dua unsur: expertise (keahlian) dan trustworthiness (dapat dipercaya). Namun kita juga akan melihat dua unsur lainnya yaitu: atraksi komunikator (source attractiveness) dan kekuasaan (source power).

1.      ETHOS

            Diatas telah kita uraikan bahwa etos atau faktor-faktor yang mempengaruhi efektifitas komunikator terdiri atas kredibilitas atraksi dan kekuasaan. Menurut Herbet C. Kelman (1975) pengaruh komunikasi berupa tiga hal:

a.      INTERNALISASI

Internalisasi terjadi apabila orang menerima pengaruh karena prilaku yang dianjurkan itu sesuai dengan system nilai yang dimiliki.

b.      IDENTIFIKASI

Identifikasi terjadi bila individu mengambil prilaku yang berasal dari orang atau kelompok lain karena prilaku itu berkaitan dengan hubungan yang mendefinisikan diri secara memuaskan dengan orang atau kelompok itu. Individu mendevinisikan dirinya sesuai dengan orang yang mempengaruhinya.

c.       KETUNDUKAN

Dalam ketundukan orang menerima prilaku yang dianjurkan bukan karena mempercayainya, tetapi karena prilaku tersebut membantunya mendapatkan efek sosial yang memuaskan.

2.      KREDIBILITAS

Kredibilitas adalah seperangkat persepsi komunikate dengan sifat-sifat komunikator. Dalam definisi ini terkandung dua hal:

·         Kredibilitas adalah persepsi komunikate; jadi tidak inhern dlam diri komunikator

·         Kredibilitas berkenaan dengan sifat-sifat komunikator, yang selanjutnya akan akan kita sebut sebagai komponen kreibilitas.

Kredibilitas adalah masalah persepsi komunikate terhadap komunikator. Oleh karena itu, ia dapat berubah atau diubah, dapat terjadi atau dijadikan.kita juga dapat memenipulasikan persepsi orang lain dengan petunjuk nonverbal. Hal-hal yang mempengaruhi persepsi komunikate tentang komunikator sebelum ia melakukan komunikasi disebut prior ethos (Andersen, 1972:82)

Penelitian Sharp dan McClung (1966), juga Baker (1971) menunjukan bahwa organisasi pesan yang lebih baik meningkatkan kredibilitas. Pearce dan Brommel (1972), Pearce dan Conlin (1971) membuktikan pengaruh cara bicara pada kredibilitas. Selain pelaku persepsi dan topic yang dibahas, faktor situasi juga mempengaruhi kredibilitas.

Dua komponen penting dalam kredibilitas adalah keahlian dan kepercayaan. Koehler, Annalon dan Applbaum (1978:144-147) menambahkan empat komponen lagi:

·         Dinamisme

·         Sosiabilitas

·         Koorelasi

·         kharisma

3.      ATRAKSI

Kita cenderung menyenangi orang-orang yang tampan/cantik, yang yang mimiliki bayak kesamaan dengan kita dan memiliki kemampuan yang lebih tinggi dari kita. Atraksi fisik menyebabkan komunikator menarik. Karena menarik ia memiki daya persuasif. Komunikate akan lebih udah menerima komunikator bila ia memandang ada kesamaan diantara keduanya. Karena itulah, komunikator yang bermaksud mempengaruhi orsng lain sebaiknya memulai dengan menegaskan menegaskan kesamaanya dengan komunikate.

Komunikator yang dipersepsi memiliki kasamaan dengan komunikate cenderung berkomunikasi lebih efektif karena:

a.      Mempermudah proses menterjemahlan lambang-lambang yang diterima menjadi gagasan-gagasan.

b.      Kesamaan membantu premis yang sama dimana akan mempermudah proses deduktif.

c.       Kesamaan menyebabkan komunikate tertarik pada kounikator.

d.      Kesamaan menumbuhkan rasa hormat percaya pada komunikator.

4.      KEKUSAAN

Kekuasaan dalah kemampuan untuk menimbulkan ketundukan. Kekuasaan menyebabkan komunikator dapat “memaksakan” khendaknya kepada orang lain, karena memiliki sumber daya yang sangat penting (critical resources). Berikut merupakan lima jenis kekuasaan menurut Raven (1974);

a.      Kekuasaan koersif

Kekuasaan koersif menunjukan kemampuan komunikator untuk mendatangkan ganjaran atau hukuman kepada komunikate.ganjaran adalah hukuman yang dapat bersifat personal ataupun impersonal. Contoh: dosen berkata “tugas harus dikumpulkan tepat waktu bila tidak, saudara tidak akan lulus.”

b.      Kekuasaan keahlian

Kekuasaan ini berdasakkan pada pengetahuan, pengalaman, keterampilan, atau kemampuan yang dimiliki komunikator. Contoh:  dosen memiliki kekuasaan dan keahlian sehingga bisa menyuruh mahasiwanya menafsirkan suatu teori berdasarkan pendapatnya.

c.       Kekuasaan internasional

Kekuasaan ini berasal dari isi komunikasi tertentu atau pengetahuan baru yang dimiliki komunikator. Contoh: ahli computer menyuruh pimpinan perusahaan untuk membeli computer dengan jenis tertentu.

d.      Kekuasaan rujukan

Disini komunikator menjadikan komunikate sebagai kerangka rujukan untuk menilai dirinya. Komunikator dinyatakan memiliki kekuatan rujukan bila dia berhasil menanamkan kekaguman pada komunikate sehingga seluruh prilakunya di teladani. Contoh: seorang nabi tingkah lakunya diteladani umat pengikutnya.

e.      Kekuasaan legal

Kekuatan ini berasal dari seperangkat aturan atau norma yang menyebabkan komunikator berwenang melakukan suatu tindakan. Contoh: komandan kompi dikalangan tentara.

            Akan tetapi apa pun jenis kekuasaan yang dipergunakan, ketundukan adalah pengaruh yang paling lemah dibandingkan dengan identifikasi dan internalisasi. Dengan begitu, kekuasaan sepatutnya digunakan setelah kedibilitas dan atraksi komunikator. Lagi pula, komunikasi mungkin masih kurang efektif apabila komunikator tidak memperhatikan pesan yang disampaikannya.

PSIKOLOGI PESAN

            Bahasa merupakan kumpulan kata-kata, kita dapat mengatur perilaku orang lain. Kekuatan bahasa, kekuatan kata-kata, the power of words. Inilah yang membedakan manusia dengan binatang. Pesan memiliki pesan didalamnya, Manusia mengucapkan kata-kata dan kalimat dengan cara-cara tertentu. Setiap cara berkata memberikan maksud tersendiri. Cara-cara ini kita sebut pesan paralinguistic. Tetapi manusia juga menyampaikan pesan dengan cara-cara lain selain dengan dengan bahasa, misalnya dengan isyarat; ini kita sebut pesan ekstralinguistik. Kita akan membicarakan pesan linguistic dengan menguraikan ihwal bahasa, hubungan bahasa dengan persepsi dan berfikir, makna dan teori general sematic dari Korzyski yang menganalisa proses penyandian (encoding). Pesan paralinguistic dan pesan ekstralinguistic akan kita uraikan dalam satu bagian yang kita sebut saja pesan nonverbal.

1.  PESAN LINGUISTIK

Apakah bahasa itu?

Ada dua cara untuk mendefinisikan bahasa: fungsional dan formal.

Definisi fungsional melihat bahasa dari segi fungsinya, sehingga bahasa diartikan sebagai “alat yang dimiliki bersama untuk mengungkakan gagasan” (socially shared means for exspressing ideas). Kita tekankan “socially shared”, karena bahasa dapat dipahami bila ada kesepakatan di antara anggota-anggota kelompok sosial untuk menggunakannya. Kata-kata, seperti kita ketahui, diberi arti secara arbitner (semaunnya) oleh klompok-kelompok sosial.

Definisi formal menyatakan bahasa sebagai semua kalimat yang terbayangkan, yang dapat dibuat menurut peraturan tata bahasa (all the conceivable sentences tahat could be generated according to the rules of its grammar). Setiap bahasa mempunyai bagaimana kata-kata harus disusun dan dirangkai supaya memberikan arti. Kalimat dalam bahasa dengan tata bahasa, bahasa-bahasa yang lain sebagai berikut:

Inggris              : Di mana dapat saya menukar beberapa uang?

Where can I change some money?

Prancis             : Di mana dapat saya menukar dari uang itu?

Ou puis-je change de I’argent?

Jerman             : Di mana dapat saya Sesuatu uang menukar?

Wo kann ich etwasGeld wechseln?

Spanyol            : Di mana dapat menukar uang?

Donde puedo cambiar dinero?

Tata bahasa meliputi tiga unsur: fonologi, sintaksis, dan sematik. Menurut George A.Miller (1974:8), untuk mampu menggunakan bahasa tertentu, kita harus menguasai ketiga tahap pengetahuan bahasa di atas, ditambah dua tahap lagi. Pada tahap pertama, kita harus memiliki informasi fonologis tentang bunyi-bunyi dalam bahasa itu. Misalnya, kita harus sanggup membedakan bunyi “th” dalam “the” dengan “th” dalam “think”. Pada tahap kedua, kita harus memiliki pengetahuan sintaksis tentang cara pembentukan kalimat. Misalnya dalam bahasa inggris kita harus menempatkan “to be” pada kalimat-kalimat nominal. Pada tahap ketiga, kita harus mengetahui secara leksikal arti kata atau gabungan kata-kata. Misalnya, kita harus tahu apa arti “take” dan “take into account”. Pada tahap keempat, kita harus memiliki pengetahuan konseptual tentang dunia tempat tinggal kita dan dunia yang kita bicarakan. Akkhirnya, pada tahap kelima, kita harus mempunyai semacam si stem kepercayaan untuk menilai apa yang kita dengar.

Tiga tahap pertama khusus dibicarakan oleh ahli-ahli bahasa. Pada dua tahap terakhirlah psikolog menaruh perhatiannya. Psikolingis menelaah peranan konsep dan kepercayaan dalam menggunakan dan memahami pesan.

BAGAIMANA KITA DAPAT BERBAHASA

     Menurut teori belajar anak-anak memiliki kemampuan berbahasa melalui tiga proses, yaitu: asosiasi, imitasi dan pengetahuan. Asosiasi berati melazimkan suatu bunyi dengan objek tertentu. Imitasi berati menirukan pengucapan dan struktur kalimat yang didengarnya.  Peneguhan diungkapkansebagai ungkapan kegembiraan yang dinyatakan ketika anak mengucapkan kata-kata dengan benar.

Menurut Noam Chomsky, setiap anak mampumenggunakan bahasa karena adanya pengetahuan bawaan (preexistent knowledge) yang telah diprogram secara genetic dalam otak kita. Ia menyebut pengetahuan ini sebagai L.A.D. — Linguistic Acquision Devin. L.A.D.tidak menganduk kata, arti dan gagasan, tetapi hanyalah satu sistem yang memungkinan manusia menggabungkan komponen-komponen bahasa. 

BAHASA DAN PROSES BERFIKIR

Orang amerika mengatakan “a clock runs” (jam berlari), orang Indonesia menyebutkan “waktu berjalan”, orang spanyol juga mengatakan”el reloj anda” (jam berjalan). Apakah ini berarti ada perbedaan persepsi tentang waktu? Apakah ini menyebabkan orang-orang amerika selalu bergegas-gegas dan memanfaatkan waktu sebaik-baiknya sebelum keburu hilang, sedangkan kita-dan kawan-kawan kita dari Amerika Latin-memandang hidup lebih santai, sering menangguhkan pekerjaan, karena toh jam hanya berjalan dan tidak berlari? untuk mengatakan bahwa waktu yang ditentukan tidak terasa hampir lewat, kita masih berkata, ”waktu berjalan cepat” (walaupun cepat, waktu tetap berjalan); orang Amerika mengatakannya, “we’re running out of time”. Perhatikan kalimat-kalimat Inggris di bawah ini dan terjemahannya dalam bahasa Indonesia:

I broke my legs                       Kaki saya patah

O, I burned my finger              oh, jariku terbakar

I missed the bus                       saya ketinggalan bis

I lost my money                     uang saya hilang

Kita melihat dalam kalimat-kalimat Inggris, pelaku adalah diriku sendiri. Kita mengatakan kaki yang patah, mereka menyebutkan mereka mematahkan kakinya. Saya membakar jariku”. Tetapi begitulah cara mereka menggungkapkan maksud bahwa jari mereka terbakar. Tidaklah ini berarti kita cendrung menyalahkan hal-hal di luar diri kita? Kalau kita terlambat, itu salah bis. Kalau kita tidak hati-hati, bukan kita yang menghilangkan uang, tapi uang itu yang hilang dari kita. Apakah ini menunjukkan bahwa kita adalah orang-orang yang tidak bertanggung jawab? Betulkah tidak adanya ”tenses” dalam bahasa Indonesia menunjukkan kita tidak mempersepsi faktor  waktu seperti persepsi orang-orang Amerika atau Prancis?

Bila kita mencoba menjawab pertanyaan di atas, kita sedang menghubungkan bahasa dan berpikir-atau lebih khusus, bahasa dan persepsi kita tentang realitas sosial. Menurut salah satu teori- Iprinciple of linguistic relativity- bahasa menyebabkan kita memandang realitas sosial dengan cara tertentu. Teori ini dikembangkan oleh von Humboldt, Sapir, Whorf, dan Cassier. Dari sekian nama itu, Whorf yang tampaknya paling menyebut perhatian. Whorf sebetulnya ”tersandung” memepelajari linguistik, padahal ia seorang insinyur dan pengusaha. Kini umumnya orang menyebutkan teori yang menjelaskan hubungan bahasa dengan berfikir ini sebagai teori Whorf  (Whorfian Hyphotesis). Edward Sapir, guru Benjamin L.Whorf, menulis.

Bahasa adalah pandu realitas sosial. Walaupun bahasa tidak dianggap sebagai hal yang sangat diminati ilmuan sosial, bahasa secara kuat mengkondisikan pikiran tentang masalah dan proses sosial. Manusia tidak hidup hanya dalam dunia objektif, tidak hanya dalam dunia kegiatan sosial seperti yang biasa dipahaminya, tetapi ia sangat ditentukan oleh bahasa tertentu yang menjadi medium pernyataan bagi masyarakatnya. Tidak ada dua bahasa yang cukup sama untuk dianggap mewakili kenyataan sosial yang sama. Dunia tempat tinggal berbagai masyarakat, bukan semata-mata dunia tidak sama dengan merek yang berbeda.

Secara singkat teori ini dapat disimpulkan bahwa pandangan kita tentang dunia dibentuk oleh bahasa; dan karena bahasa berbeda, pandangan berbeda, pandangan kita tentang dunia pun berbeda pula. Secara selektif, kita menyaring data sensori yang masuk seperti yang telah diperogam oleh bahasa yang kita pakai. Dengan begitu, masyarakat yang menggunakan bahasa yang berbeda hidup dalam dunia sensori yang berbeda pula.

KATA-KATA DAN MAKNA

Ada beberapa yang secara khusus mengulas makna seperti The Meaning of Meaning dan Understanding Understanding, tetapi isinay menurut Fisher, lebih sedikit dari apa yang ditawarkan judulnya. Ulasan yang agak mendalam biasanya ditawarkan filsafat. Sejak Palto, John Locke, Wittgentein, sampai Brodbeck (1963), makna dimaknakan dengan uraian yang lebih sering membingungkan dari pada menjelaskan.

Mungkin Brodbeck merupakan pengecualian. Ia menjernihkan pembicaraan dengan membagi makna pada tiga corak. Perdebatan tidak selesai, sering kali karena orang mengacukan makna ketiga corak tersebut.

Makna yang pertama adalah makna inferensiaal, yakni makna satu kata (lambang) adalah objek. Makna yang kedua menunjukkan arti (significance) suatu istilah sejauh dihubungkan dengan konsep-konsep lain. Makna yang ketiga adalah makna intensional, yaitu makna yang dimaksudkan oleh seorang pemakai lambang.

2.  PESAN NON VERBAL

Orang mengungkapkan penghormatan kepada orang lain dengan cara yang bermacam-macam. Orang Arab menghormati orang asing dengan memeluknya. Orang-orang Polinesia menyalami orang lain dengan saling memeluk dan mengusap punggung. Orang Jawa menyalami orang yang dihormatinya dengan sungkem, Orang Jawa duduk bersila menyambut kedatangan orang yang mulia; orang belanda malah berdiri tegak.

Tepuk tangan, pelukan, usapan, duduk, dan berdiri tegak adalah pesan nonverbal yang menerjemahkan gagasan, keinginan, atau maksud yang terkandung dalam hati kita.

FUNGSI PESAN NONVERBAL

Betapapun kekurangannya-seperti disindir Korzybski dan kawan-kawan-bahasa telah sanggup menyampaikan informasi kepada orang lain. Dalam hubungannya dengan bahasa, mengapa pesan nonverbal masih dipergunakan? Apa fungsi peran nonverbal? Mark L.Knapp (1972:9-12) menyebutkan lima fungsi nonverbal;

1.      Refetisi-mengulang kembali gagasan yang sudah disajikan secara verbal. Misalnya, setelah sayamenjelaskan penolakansaya, saya menggelengkan kepala berkali-kali.

2.      Subtitusi-menggantikan lambang-lambang verbal. Misalnya, tanpa sepatah katapun anda berkata. Anda dapat menunjukkan persetujuan dengan mengangguk-angguk.

3.      Kontradiksi-menolak pesan verbal atau memberikan makna yang lain terhadap pesan verbal. Misalnya, anda memang hebat.

4.      Komplemen- melengkapi dan memperkaya makna pesan nonverbal. Misalnya, air muka anda menunjukkan tingkat penderitaan yang tidak terungkap dengan kata-kata.

5.      Aksentuasi- menegaskan pesan verbal atau menggarisbawahinnya. Misalnya, anda mengungkapkan betapa jengkelnya anda dengan memukul mimbar.

 

3.    ORGANISASI, STRUKTUR DAN IMBAUAN PESAN

a. Organisasi Pesan

Aristoteles, dalam buku klasik tentang komunikasi De Arte Rhetorica, menerangkan peranan taxsis dalam memperkuat efek pesan persuasive. Yang dimaksud dengan taxsis adalah pembagian atau rangkaian penyusunan pesan. Ia menyarankan agar setiap pembicaraan disusun menurut urutan: pengantar, pertanyaan, argument, dan kesimpulan.

Pada tahun 1952, Beighley meninjau kembali berbagai penelitian yang ,membandingkan efek pesan yang tersusun dengan pesan yang tidak tersusun. Ia menemukan bukti yang nyata yang menunjukkan bahwa pesan yang diorganisasikan dengan baik lebih mudah dimengerti dari pada pesan yang tidak tersusun dengan baik.

Alan H.Monroe pada akhir tahun 1930-an. Menyarankan lima langkah dalam penyusunan pesan:

1)      attention (perhatian)

2)      need (kebutuhan)

3)      satisfaction (pemuasan)

4)      visualization (visualisasi)

5)      action (tindakan)

Jadi, bila anda ingin mempengaruhi orang lain, rebutlah lebih dahulu perhatiannya, selanjutnya bangkitkan kebutuhannya, berikan petunjuk bagaimana cara memuaskan kebutuhan itu, gambarkan dalam pikirannya keuntungan dan kerugian apa yang akan diperolehnnya bila ia menerapkan atau tidak menerapkan gagasan anda, dan akhirnya doronglah dia untuk bertindak.

b. Sturuktur Pesan

Bayangkan Anda harus menyampaikan informasi di hadapan khalayak yang tidak sefaham dengan anda. Anda harus menentukan apakah bagian penting dari argumentasi anda yang harus didahulukan atau bagian yang kurang penting. Ataukah kita harus membiarkan hanya argument-argument yang menunjang kita saja atau harus membicarakan yang pro dan kontra sekaligus. Untuk menjawab sekaligus pertanyaan yang pertama banyak penelitian telah dilakukan disekitar konsep primacy-recency. Koehler et al.(1978:170-172), dengan mengutip Cohen, menyebutkan kesimpulan penelitian tersebut sebagai berikut:

·         Bila pembicara menyajikan dua sisi persoalan (yang pro dan kontra), tidak ada keuntungan untuk berbiacara yang pertama, karena berbagai kondisi(waktu, khalayak, tempat dan sebagainnya) akan menentukan pembicara yang paling berpengaruh..

·         Bila pendengar secara terbuka memihaksatu sisi argument, sisi yang lain tidak mungkin mengubah posisi mereka. Sikap nonkompromistis ini mungkin timbul karena kebutuhan untuk mempertahankan harga diri. Mengubah posisi akan  membuat orang kelihatan tidak konsisten, mudah dipengaruhi dan bahkan tidak jujur.

·         Jika pembicara menyajiakan dua sisi persoalan, kita biasanya lebih mudah dipengaruhi oleh sisi yang disajikan lebih dahulu. Jika ada kegiatan diantara penyajian, atau jika kita diperingati oleh pembicara tentang kemungkinan disesatkan orang, maka apa yang dikatakan terakhir akan lebih banyak memberikan efek. Jika pendengar tidak tertarik pada subjek pembicaraan kecuali setelah menerima informasi tentang hal itu, mereka akan sukar mengingat dan menerapkan informasi tersebut. Sebaliknya, jika mereka sudah tertarik pada suatu persoalan , mereka akan mengigatnya baik-baik dan menerapkannya.

·         Perubahan sikap lebih sering terjadi jika gagasan yang dikehendaki. Atau yang diterima disajikan sebelum gagasan yang kurang dikehendaki. Jika pada awal penyajian, komunikator menyampaikan gagasan yang menyenagkan kita, kita akan cenderung dan memperhatikan dan menerima pesan-pesan berikutnya. Sebaliknya, jika ia memulai dengan hal-hal yang tidak menyenagkan kita, kita akan menjadi kristis dan cenderung menolak gagasan berikutnya, betapapun baiknya.

·         Urutan pro-kon  efektif dari pada urutan kon-pro bila digunakan oleh sumber yang memiliki otoritas dan dihormati oleh khalayak.

·         Argumen yang terakhir didengar akan lebih efektif bila ada jangka waktu cukup lama di antara dua pesan, dan pengujian segera terjadi setelah pesan kedua.

c.  Imbauan Pesan (Message Appeals)

Bila pesan-pesan kita dimaksudkan untuk mempengaruhi orang lain maka kita harus menyentuh motif yang menggerakan atau mendorong prilaku komunikate. Dengan perkataan lain, kita secara psikologis mengimbau khalayak untuk menerima dan melaksanakan gagasan kita. Dalam uraian kita yang terakhir ini, kita akan membicarakan imbauan rasional, imbauan emosional, imbauan takut, imbauan ganjaran dan imbauan motivasional.

Imbauan rasional didasarkan pada anggapan bahwa manusia pada dasarnya makhluk rasional yang baru bereaksi pada imbauan rasional, bila imbauan rasional tidak ada. Menggunakan imbauan rasional artinya menyakinkan orang lain dengan pendekatan logis atau penyajian bukti-bukti.

Imbauan emosional menggunakan persyaratan –persyaratan atau bahasa yang menyentuh emosi komunikate.

Imbauan takut menggunakan pesan yang mencemaskan, mengancam, atau meresahkan. Imbauan ganjaran menggunakan rujukan yang menjanjikan komunikate sesuatu yang mereka perlukan atau yang menjanjikan komunikate Sesuatu yang mereka perlukan atau yan mereka inginkan. Imbauan motivasional menggunakan imbauan motif (motive appeals) yang menyentuh kondisi intern dalam diri manusia.

 
Picture
A. Pengertian Sistem

Sistem berasal dari bahasa Yunani, sistema, yang berarti suatu keseluruhan yang tersusun dari sekian banyak bagian (Shrode dan Voich, dalam Nurudin, 2004). Serupa dengan pendapat Shrode dan Voich, Littlejohn(1999) mengartikan sistem sebagai seperangkat hal-hal yang saling mempengaruhi dalam suatu lingkungan dan membentuk suatu keseluruhan (sebuah pola yang lebih besar yang berbeda dari setiap bagian-bagiannya).

Lebih mendalam, Littlejohn mengatakan bahwa suatu sistem terdiri dari empat (4) hal, yaitu:

·         Objek-objek. Objek adalah bagian-bagian, elemen-elemen, atau variabel-variabel dari sistem. Mereka bisa jadi berbentuk fisik atau abstrak atau kedua-duanya, tergantung dari sifat sistem.

·         Atribut. Suatu sistem terdiri dari atribut-atribut, kualitas atau properti sistem itu dan objek-objeknya.

·         Hubungan internal, hubungan antara anggota sistem.

·         Lingkungan, suatu sistem memiliki suatu lingkungan. Mereka tidak hadir dalam suatu kevakuman, tetapi dipengaruhi oleh keadaan sekitarnya.

Suatu keluarga adalah suatu contoh yang baik dari suatu sistem. Anggota-anggota keluarga (bapak; ibu; anak; dan sebagainya) adalah objek dari sistem ini. Ciri-ciri mereka sebagai individu adalah atribut-atribut. Interaksi mereka keluarga membentuk hubungan antara anggota-anggotanya. Keluarga juga eksis dalam lingkungan sosial dan kultural, dan ada pengaruh bersama diantara keluarga dan lingkungannya. Anggota-anggota keluarga bukanlah orang-orang yang terisolasi, dan hubungan mereka haruslah diperhitungkan untuk memahami keluarga sebagai suatu unit.

Lebih mendalam, Littlejohn menyatakan bahwa sistem mempunyai beberapa sifat, yaitu:

a. Keseluruhan dan interdependensi (wholeness and interdependence)

Suatu sistem adalah suatu keseluruhan yang unik, karena bagian-bagiannya berhubungan satu sama lain dan tidak dapat dipahami secara terpisah. Suatu sistem adalah produk dari kekuatan-kekuatan atau interaksi-interaksi diantara bagian-bagiannya. Dan bagian-bagian dari sistem saling bergantungan atau saling mempengaruhi tidak bebas.

Independensi dengan mudah dapat digambarkan dalam keluarga. Suatu keluarga adalah suatu sistem interaksi individu, dan setiap anggota dipaksa oleh aksi anggota-anggota lainnya. Walaupun tiap orang memiliki kebebasan tak seorangpun memiliki kebebasan penuh dengan keterikatan mereka satu sama lain. Perilaku-perilaku dalam keluarga tidak independen, bebas, atau acak. Namun mereka terpola dan terstruktur agak dapat diramalkan. Apa yang anggota keluarga lakukan atau katakan mengikuti dari atau membawa suatu aksi yang lain.

b. Hirarki (hierarchy)

Sistem mempunyai hirarki, ada sistem yang lebih besar dimana suatu sistem adalah satu bagian disebut supra-sistem, dan sistem yang lebih kecil mengandung suatu sistem disebut subsistem.

Keluarga menggambarkan hirarki dengan sangat baik. Supra-sistem adalah keluarga yang diperluas, yang dirinya sendiri adalah bagian dari sistem yang lebih besar yaitu masyarakat. Beberapa unit keluarga inti adalah bagian-bagian dari yang diperluas, dan setiap unit keluarga dapat memiliki subsistem-subsistem seperti unit suami-istri, anak, unit orang tua-anak.

c. Peraturan sendiri dan control (self-regulation and control)

Sistem-sistem paling sering dipandang sebagai organisasi yang berorientasi kepada tujuan. Aktifitas-aktifitas suatu sistem dikendalikan oleh tujuan-tujuannya dan sistem itu mengatur perilakunya untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut. Bagian-bagian dari suatu sistem harus berperilaku berdasarkan garis-garis besar dan harus beradaptasi terhadaptasi terhadap lingkungan pada basis umpan balik.

Kembali ke contoh, keluarga-keluarga melukiskan kualitas sistem-sistem ini, dan ia dapat memiliki berbagai mekanisme kontrol. Contohnya, ia dapat bersandar pada satu anggota dominan untuk membuat keputusan-keputusan dan memberikan arahan. Orang ini memonitor keluarga itu memberikan kontrol seperlunya bilamana ada tanda-tanda penyimpangan dari standar-standar keluarga terdeteksi. Keluarga-keluarga lain dapat menagani kontrol dengan sangat berbeda, seperti dalam kasus dimana yang memiliki bagian-bagian peran yang tegas membolehkan setiap anggota mendesak kontrol terhadap jenis-jenis keputusan tertentu dan tidak bagi yang lainnya.

d. Pertukaran dengan lingkungan (interchange with environment)

Sistem-sistem berinteraksi dengan lingkungannya. Mereka mengambil ke dalam dan membiarkannya ke luar materi dan energi, memiliki masukan-masukan dan keluaran-keluaran. Contohnya, orang-orang tua harus secara tetap menyesuaikan terhadap hubungan-hubungan putranya di luar keluarga dan berurusan dengan pengaruh-pengaruh dari teman-teman, guru-guru, dan televisi.

e. Keseimbangan (balance)

Keseimbangan, seringkali merujuk kepada homeostatis (merawat sendiri). Salah satu tugas dari suatu sistem, jika ia tetap hidup, adalah tinggal dalam keseimbangan. Sistem haruslah bagaimana pun mendeteksi bilamana rusak dan membuat penyesuaian untuk kembali di atas jalurnya, penyimpangan dan perubahan muncul dan dapat ditoleransi oleh sistem, hanya bila telah lama. Akhirnya, sistem itu akan jatuh berantakan jika tidak dapat merawat dirinya.

Kebutuhan bagi keseimbangan menjelaskan mengapa keluarga-keluarga terlihat berjuang begitu keras untuk menjaga beberapa hal seimbang. Contohnya mengapa orang tua terus mengomeli anak-anaknya untuk berlaku santun? Mengapa pasangan-pasangan yang memiliki kesulitan perkawinan seringkali selalu mencoba berkumpul kembali? Dari suatu pandangan sistem, jenis usaha ini adalah suatu upaya alami untuk mempertahankan homeostatis.

f. Perubahan dan kemampuan beradaptasi (change and adaptibity)

Karena sistem eksis dalam suatu lingkungan dinamik sistem haruslah dapat beradaptasi. Sebaliknya, untuk bertahan hidup, suatu sistem haruslah memiliki keseimbangan tapi ia juga harus berubah. Sistem-sistem yang kompleks seringkali perlu berubah secara struktural untuk beradaptasi terhadap lingkungan, dan jenis perubahan itu berarti keluaran dari keimbangan untuk sesaat. Sistem-sistem yang telah maju haruslah mampu merngatur kembali dirinya untuk menyesuaikan terhadap tekanan-tekanan lingkungan. Pengertian teknis bagi perubahan sistem adalah morfogenesis.

Untuk melanjutkan contoh kita, keluarga-keluarga melakukan perubahan. Saat anggota-anggota keluarga dewasa dan berkembang, saat anggota-anggota baru hadir dan anggota lama meninggalkan, dan saat keluarga menghadapi tantangan-tantangan baru di lingkungan, ia harus beradaptasi.

g. Sama akhirnya (equifinality).

Finalitas adalah tujuan yang dicapai atau penyelesaian tugas dari suatu sistem. Equifinalty adalah suatu keadaan final tertentu bisa jadi diselesaikan dengan cara-cara yang berbeda dan titik-titik awal yang berbeda. Sistem-sistem yang dapat beradasptasi, yang memiliki keadaan final suatu tujuan, dapat mencapai tujuan itu dalam suatu beragam kondisi lingkungan. Sistem mampu dalam memproses masukan-masukan dengan cara-cara yang berbeda untuk menghasilkan keluarannya. Orang tua yang cerdik, misalnya mengetahui bahwa perilaku-perilaku anaknya dapat dipengaruhi oleh beragam teknik, pembuatan keputusan keluarga dapat terjadi dalam lebih dari satu cara dan dan anak-anak belajar beberapa metoda untuk mengamankan pemenuhan kedewasaan pada dunianya.

B. Pengertian Komunikasi

Istilah komunikasi atau dalam bahasa Inggris communication berasal dari kata Latin communicatio, dan bersumber dari kata communis yang berarti sama, sama di sini maksudnya adalah sama makna.

Untuk memahami pengertian komunikasi sehingga dapat dilancarkan secara efektif, para peminat komunikasi sering kali mengutip paradigma yang dikemukakan oleh Harold Lasswell dalam karyanya, The Structure and Function of Communication in Society. Lasswell mengatakan bahwa cara yang baik untuk untuk menjelaskan komunikasi ialah dengan menjawab pertanyaan sebagai berikut: Who Says What In Which Channel To Whom With What Effect?

Paradigma Lasswell di atas menunjukkan bahwa komunikasi meliputi lima unsur sebagai jawaban dari pertanyaan yang diajukan itu,yaitu:

1. Komunikator (siapa yang mengatakan?)

2. Pesan (mengatakan apa?)

3. Media (melalui canel/media apa?)

4. Komunikan (kepada siapa?)

5. Efek (dengan dampak/efek apa?).

Jadi berdasarkan paradigma Lasswell tersebut, komunikasi adalah proses penyampaian pesan oleh komunikator kepada komunikan melalui media yang menimbulkan efek tertentu.

Berangkat dari paradigma Lasswell, Effendy (1994) membedakan proses komunikasi menjadi dua tahap, yaitu:

Proses komunikasi secara primer

Proses komunikasi secara primer adalah proses penyampaian pikiran dan atau perasaan seseorang kepada orang lain dengan menggunakan lambang (symbol) sebagai media. Lambang sebagai media primer dalam proses komunikasi adalah pesan verbal (bahasa), dan pesan nonverbal (kial/gesture, isyarat, gambar, warna, dan lain sebagainya) yang secara langsung dapat/mampu menerjemahkan pikiran dan atau perasaan komunikator kepada komunikan.

Seperti disinggung di muka, komunikasi berlangsung apabila terjadi kesamaan makna dalam pesan yang diterima oleh komunikan. Dengan kata lain , komunikasi adalah proses membuat pesan yang setala bagi komunikator dan komunikan. Prosesnya sebagai berikut, pertama-tama komunikator menyandi (encode) pesan yang akan disampaikan disampaikan kepada komunikan. Ini berarti komunikator memformulasikan pikiran dan atau perasaannya ke dalam lambang (bahasa) yang diperkirakan akan dimengerti oleh komunikan. Kemudian giliran komunikan untuk menterjemahkan (decode) pesan dari komunikator. Ini berarti ia menafsirkan lambang yang mengandung pikiran dan atau perasaan komunikator tadi dalam konteks pengertian. Yang penting dalam proses penyandian (coding) adalah komunikator dapat menyandi dan komunikan dapat menerjemahkan sandi tersebut (terdapat kesamaan makna).

Wilbur Schramm (dalam Effendy, 1994) menyatakan bahwa komunikasi akan berhasil (terdapat kesamaan makna) apabila pesan yang disampaikan oleh komunikator cocok dengan kerang acuan (frame of reference) , yakni paduan pengalaman dan pengertian (collection of experiences and meanings) yang diperoleh oleh komunikan. Schramm menambahkan, bahwa bidang (field of experience) merupakan faktor prnting juga dalam komunikasi. Jika bidang pengalaman komunikator sama dengan bidang pengalaman komunikan, komunikasi akan berlangsung lancar. Sebaliknya, bila bidang pengalaman komunikan tidak sama dengan bidang pengalaman komunikator, akan timbul kesukaran untuk mengerti satu sama lain.

Proses komunikasi sekunder

Proses komunikasi secara sekunder adalah proses penyampaian pesan oleh komunikator kepada komunikan dengan menggunakan alat atau sarana sebagai media kedua setelah memakai lambang sebagai media pertama.

Seorang komunikator menggunakan media ke dua dalam menyampaikan komunikasike karena komunikan sebagai sasaran berada di tempat yang relatif jauh atau jumlahnya banyak. Surat, telepon, teleks, surat kabar, majalah, radio, televisi, film, dan sebagainya adalah media kedua yang sering digunakan dalam komunikasi. Proses komunikasi secara sekunder itu menggunakan media yang dapat diklasifikasikan sebagai media massa (surat kabar, televisi, radio, dan sebagainya.) dan media nirmassa (telepon, surat, megapon, dan sebagainya.).

C. PENGERTIAN SISTEM KOMUNIKASI

Teori sistem telah memiliki suatu pengaruh utama pada studi komunikasi manusia. Beberapa pelopor adalah:

1. Gregory Bateson (dalam Littlejohn, 1999) adalah penemu garis teori yang kemudian dikenal sebagai komunikasi relasional. Ia berpendapat bahwa dalam berkomunikasi (sebagai ujud suatu sistem) peserta komunikasi menyampaikan suatu pesan yang memuat makna mendua dan hubungan komplementaris atau simetris. Pengertian pesan bermakna mendua, yaitu pesan yang memuat isi pesan (content message) dan pesan memuat hubungan (relationship massage). Pengertian hubungan komplementer, adalah satu bentuk perilaku diikuti oleh perlaku lawannya yang bersifat melengkapi. Dalam simetri, aksi seseorang diikuti oleh aksi sejenis oleh orang lainnya. Disini mulai telihat bagaimana proses interaksi menciptakan struktur sistem, bagaimana orang merespon satu sama lain menentukan jenis hubungan yang mereka miliki.

2. Aubre Fisher (dalam perspectives on Human Communication) menerapkan konsep-konsep sistem pada komunikasi. Analisisnya dimulai dengan perilaku seperti komentar verbal dan aksi-aksi nonverbal sebagai unit terkecil dari analisis dalam sistem komunikasi. Perilaku-perilaku yang dapat diobservasi ini (suatu pesan) merupakan kendaraan satu-satunya untuk menghubungkan individu dalam suatu sistem komunikasi. Fisher percaya bahwa aliran pembicaraan ini dengan sendirinya mengatakan sedikit tentang sistem komunikasi.

Berangkat dari pengertian-pengertian diatas, sistem komunikasi dapat diartikan sebagai seperangkat hal-hal tentang proses penyampaian pesan yang berhubungan satu sama lain dan membentuk suatu keseluruhan. Layaknya suatu sistem, sistem komunikasi terdiri dari 4 (empat) hal, Yaitu:

a. Objek-objek dari sistem komunikasi, yang berupa unsur-unsur komunikasi (komunikator, pesan, media, komunikan, efek).

b. Atribut Sistem komunikasi, yang berupa kualitas atau properti sistem itu dan unsur-unsur komunikasinya.

c. Hubungan internal sistem komunikasi, hubungan antara peserta-peserta komunikasi (komunikator dan komunikan) sebagai anggota sistem, yang dapat ditandai melalui pesan-pesan komunikasi mereka.

d. Lingkungan sistem komunikasi, suatu sistem komunikasi memiliki suatu lingkungan, yaitu: sistem sosial, sistem politik, sistem budaya dan sebagainya. Mereka tidak hadir dalam suatu kevakuman, tetapi dipengaruhi oleh keadaan sekitarnya. Hubungan antar sistem itu dapat digambarkan sebagai berikut:

ika pengertian sistem komunikasi itu dipakai untuk mengamati suatu sistem pers, maka objek-objek dari sistem ini adalah insan pers (wartawan, dewan pers, institusi pers), pesan (berita, opini, iklan) masyarakat yang berkepentingan, pemerintah. Ciri-ciri atau kualitas dari mereka sebagai objek-objek sistem merupakan atribut sistem. Interaksi antara mereka membentuk membentuk hubungan antara anggota sistem. Sistem pers juga eksis dalam lingkungan sosial, politik, budayanya. Anggota-anggota sistem komunikasi ini bukanlah orang-orang yang terisolasi dan hubungan mereka haruslah diperhitungkan untuk memahami sistem komunikasi ini sebagai suatu unit dari sistem yang lebih besar.

Sifat-sifat dari sistem pers dapat dijabarkan sebagai berikut:

a. Keseluruhan dan interdependensi

Sistem pers adalah suatu hubungan antara insan-insan pers (wartawan, dewan pers, dan sebagainya), pesan (berita, opini, iklan), masyarakat yang berkepentingan, dan pemerintah yang membentuk suatu keseluruhan.dan masing-masing anggota sistem saling bergantungan (interdependensi), artinya kebebasan pers dipengaruhi oleh masyarakat dan pemerintahnya.

b. Hirarki

Sistem pers merupakan sub sistem dari sistem komunikasi, atau sistem komunikasi merupakan sistem besar bagi sistem pers, sistem penyiaran, sistem periklanan,dan sebagainya. Sistem pers sendiri mempunyai sub sistem-sub sistem, yaitu sistem pers surat kabar, tabloid, majalah, dan sebagainya.

c. Peraturan sendiri dan kontrol

Sistem pers mempunyai aturan-aturan sendiri bagi sistem itu dan anggota-anggotanya. Aturan-aturan itu antara lain: uu pers, kode etik, uu penyiaran, dan sebagainya. Anggota-anggota sistem haruslah berperilaku sesuai dengan aturan yang berlaku dalam sistem ini. Mekanisme kontrol juga dijalankan untuk menindak anggota sistem yang berperilaku yang menyimpang. Mekanisme kontrol dalam sistem ini dijalankan oleh dewan pers.

d. Pertukaran dengan lingkungan

Sistem pers berada dalam suatu sistem sosial, sistem politik, sistem budaya, sistem ekonomi, dan sebagainya. Dan sistem-sistem itu saling mempengaruhi.

Sistem komunikasi berada di bawah subordinat sistem sosial. Sistem sosial adalah sebuah bangunan yang di dalamnya mempunyai beberapa sub sistem, yang mendukung eksistensi dari sistem sosial itu secara bersama-sama. Sistem sosial yang mengedepankan budaya feodalisme atau paternalistik akan mempengaruhi sistem komunikasi, ekonomi, politiknya, -dan pada gilirannya akan mempengaruhi sistem pers.

e. Keseimbangan

Keseimbangan suatu sistem berkorelasi dengan kemampuan merawat diri sendiri. Dalam sistem pers, keseimbangan ini dipertahan oleh insan-insan pers, masyarakat yang berkepentingan, dan pemerintah sebagai anggota-anggota sistem. Bagaimana mereka mampu merawat diri mereka dan sistemnya, dengan cara berdisiplin untuk patuh terhadap aturan-aturan yang berlaku dalam sistem mereka. Mereka harus juga mampu menyesuaikan/merevisi peraturan-peraturan yang sudah tidak sesuai dengan perkembangan dari sistem ini, maupun terhadap lingkungannya.

f. Perubahan dan kemampuan beradaptasi

Sistem pers eksis pada suatu lingkungan, untuk itu sistem pers harus mampu mengadakan penyesuaian guna beradaptasi dengan lingkungannya. Misal sistem pers harus menyesuai perkembangan dari sistem politik yang cenderung lebih demokratis, penyesuaian yang dilakukan tentunya berkenaan dengan perkembangan dari kebebasan yang dirasakannya.

g. Sama akhirnya.

Keadaan final (pencapaian tujuan/penyelesaian tugas) tertentu bisa jadi diselesaikan dengan cara berbeda dan titik awal yang berbeda.

D. DEFINISI DAN RUANG LINGKUP

SKI adalah suatu bidang kajian yang membahas tidak hanya proses komunikasi saja, tetapi juga unsur-unsur di dalamnya, dan hubungan antara sistem komunikasi dengan sistem lainnya, serta bagaimana gambaran berlangsungnya sistem komunikasi di Indonesia. Nurudin, di dalam bukunya yang berjudul Sistem Komunikasi Indonesia, mengelompokkan SKI menjadi beberapa bagian sebagai berikut:

Jika ditinjau dari segi wilayah geografisnya, sistem komunikasi bisa dibagi menjadi dua, yakni sistem komunikasi di pedesaan dan perkotaan. Di Indonesia realitas  komunikasi di perkotaan dengan di pedesaan sangat berbeda jauh. Di desa, sistem komunikasi sangat dipengaruhi oleh keberadaan opinion leader (pemimpin opini, pemuka pendapat) sebagai pihak penerjemah pesan, interpretator karena kelebihannya dibandingkan masyarakat kebanyakan. Adapun masyarakat kota, sistem komunikasi sangat dipengaruhi oleh keberadaan media massa mengingat ciri masyarakat kota lebih individualistis dibandingkan masyarakat desa. Ini juga sejalan dengan tingkat perkembangan pendidikan warga kota yang memungkinkan mereka lebih bergantung pada media massa.

Jika ditinjau dari media yang digunakan, ada sistem media cetak (surat kabar, majalah, tabloid), sistem media elektronik (televisi, radio), dan sistem media online atau internet. Di samping itu ada pula sistem media tradisional, misalnya saja wayang, ketoprak, ludruk, atau bentuk folklor antara lain:

(1)   cerita prosa rakyat (mite, legenda, dongeng),

(2)   ungkapan rakyat (peribahasa, pepatah),

(3)   puisi rakyat,

(4)   nyanyian rakyat,

(5)   teater rakyat,

(6)   gerak isyarat,

(7)   alat pengingat, dan

(8)   alat bunyi.

Jika ditinjau dari pola komunikasinya ada sistem komunikasi dengan diri sendiri (intrapersonal communication system), sistem komunikasi antarpersona (interpersonal communication system), sistem komunikasi kelompok (small group communication system), dan sistem komunikasi massa (mass communication system).

Merujuk pada klasifikasi Sistem Komunikasi Indonesia di atas, semakin jelas kiranya peta SKI sebagai bagian yang sangat penting dalam kajian ilmu komunikasi selain sebagai mata kuliah. SKI menunjukkan kekhasannya tersendiri yang perlu dibahas secara mendalam. Namun, mengapa SKI perlu dipelajari? Jawaban dari pertanyaan tersebut sekiranya bisa dijawab dari beberapa poin di bawah ini:

Alasan pertama ialah perkembangan teknologi komunikasi yang kian pesat di Indonesia (dan bahkan terus berkembang di masa yang akan datang) sehingga akan mengubah pola arus informasi yang akan berkembang. Perkembangan yang cepat tersebut jelas membutuhkan kajian khusus dan mendalam.

Alasan kedua adalah Indonesia merupakan negara kepulauan yang multietnis. Dengan kata lain, Indonesia ialah negara yang mempunyai heterogenitas keadaal wsuku, agama, dan ras. Hal ini memungkinkan masing-masing daerah di Indonesia memiliki ciri khas tersendiri, sehingga berbeda pula konteks sistem komunikasinya.

Alasan ketiga adalah meskipun perkembangan teknologi komunikasi sedemikian pesat, tetapi mayoritas masyarakat Indonesia masih tinggal di pedesaan. Hal ini mengakibatkan perkembangan media massa tidak selamanya bisa dimanfaatkan oleh masyarakat desa. Oleh karena itu, ciri komunikasi yang berkembang di desa jelas berbeda dengan yang di kota. Dan membutuhkan kajian para pemimpin opini (opinion leader), para penyuluh pembangunan, dan juru penerang desa sebagai pihak-pihak yang sangat berpengaruh dalam sistem komunikasi pedesaan.

Alasan keempat ialah SKI merupakan pembahasan yang kompleks dan melibatkan banyak unsur serta hal di dalamnya. Maka, SKI tidak bisa dibahas secara sekilas dan dimasukkan dalam pembahasan mata kuliah tertentu. SKI harus dijelaskan secara menyeluruh atau komprehensif.

Alasan terakhir adalah SKI jelas berbeda dengan sistem komunikasi di negara lain. Perbedaan tersebut juga dilatarbelakangi oleh kondisi sistem sosial, politik, dan budaya yang dikembangkan. Itu artinya sistem politik, sosial, dan budaya masyarakat Indonesia juga akan memberi warna dan corak terhadap sistem komunikasinya.

E. KAITAN SKI DENGAN SISTEM LAINNYA

SKI merupakan sebuah sistem yang tidak bisa berdiri sendiri dan tentunya berkaitan dengan sistem-sistem lainnya. Tidak bisa dipungkiri bahwa sistem-sistem lainnya berpengaruh langsung terhadap SKI. Begitu juga dengan sistem lain, tidak akan lengkap keberadaaannya tanpa adanya SKI. Secara umum, hubungan antara sistem komunikasi dengan sistem lainnya adalah sebagai berikut:

1.      Sistem komunikasi dipengaruhi oleh sistem sosial

Jika dikatakan secara ringkas, sistem komunikasi berada di bawah subordinate sistem sosial. Sistem sosial adalah sebuah bangunan sistem yang besar yang didalamnya mempunyai subsistem, termasuk sistem komunikasi itu sendiri. Sedangkan sistem komunikasi bersama sistem lain yang juga merupakan bagian dari sistem sosial mendukung eksistensi atau keberadaannya secara bersama-sama. Misalnya sistem ekonomi, sistem budaya, sistem politik mendukung dan memberi arti keberadaan sistem sosialnya.

Sistem sosial yang mengedepankan budaya feodalisme atau paternalisme akan mempengaruhi proses komunikasi. Ini juga berlaku pada sistem sosial yang mengedepankan sistem kepercayaan. Sistem kasta dalam masyarakat pun akan memberi andil besar dalam proses komunikasi. Ditinjau dari segi komunikasi, mereka yang berasal dari kasta sudra (golongan rendah) akan sangat kesulitan berkomunikasi dengan mereka yang berkasta ksatria. Artinya, sistem kasta sebagai sistem kepercayaan dalam sistem sosial mempengaruhi sistem komunikasi.

Di Indonesia tak bisa dipungkiri bahwa sistem sosial Jawa masih sangat menentukan sistem komunikasinya. Dalam budaya Jawa dikenal nilai ewuh pakewuh atau sungkan. Kenyataan ini juga termanifestasikan dalam sistem komunikasi. Bentuknya, orang akan merasa “tidak enak untuk mendahului atasan” apalagi bila harus mengkritiknya.

Sistem sosial di sini jika lebih dioperasionalisasikan memasukkan sistem kepercayaan masyarakat. Dapat dikatakan bahwa sistem kepercayaan yang berkembang dalam masyarakat akan ikut memberikan “warna” proses dan bentuk komunikasinya. Kita bisa mengambil contoh dalam sistem “kasta” pada masyarakat Hindu-Bali. Meskipun sistem kasta banyak dikritik dan bahkan ada yang sudah meninggalkan sistem tersebut seiring perkembangan zaman, tetapi ada sebagian masyarakat yang masih mempercayai dan menerapkannya. Masyarakat yang mempercayai sistem kasta sebagai kepercayaan utama akan mempengaruhi proses komunikasi yang dilakukannya. Jadi, golongan “kelas bawah” bisa berbicara atau menentukan jodoh dengan “kelas atas” dalam sistem yang demokratis, tetapi dalam sistem kepercayaan kasta, hal ini sulit dilakukan. Artinya, sistem kepercayaan memiliki andil besar bagi proses komunikasi. Dengan kata lain, sistem kepercayaan sebagai operasionalisasi sistem sosial mempengaruhi sistem komunikasi.

2.  Sistem komunikasi dipengaruhi oleh sistem politik.

Studi penelitian mengenai hubungan antara sistem pers dengan sistem politik telah banyak dilakukan oleh para ahli. Namun hubungan antara sistem komunikasi dengan sistem politik belum banyak dikaji. Dalam praktik politik, sistem komunikasi akan dipengaruhi pula oleh keberadaan sistem politik. Sistem politik yang demokratis, misalnya, akan memberi peluang proses komunikasi (dalam sistem komunikasi) yang demokratis pula. Sebaliknya sistem politik otoriter akan membuat sistem komunikasi yang otoriter pula. Sebab, proses komunikasi yang dikembangkan jelas hanya ditentukan oleh penguasa dan berjalan dari atas ke bawah. Hal ini mengakibatkan terjadinya pengaruh sistem politik yang memfungsikan pola seperti itu.

Kita bisa membandingkan antara sistem politik pemerintahan Era Orde Baru dan Era Reformasi. Pada Era Orde Baru, sistem politik hanya ditentukan oleh pemerintah dengan mengebiri otonomi masyarakat, sedangkan Era Reformasi sistemnya lebih demokratis. Terbukti dengan dibukanya kran keterbukaan dan semua pihak boleh menyuarakan pendapatnya, asalkan masih dalam rambu kontitusi. Kenyataan di atas sangat berpengaruh terhadap berjalannya sistem komunikasi. Bagian sistem komunikasi misalnya adalah sistem pers pun sangat lain. Pers Era Orde Baru penuh kekangan, dihambat kebebasan persnya, dihantui pembatalan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP), dan adanya budaya peringatan. Sedangkan pada Era Reformasi, semua itu dihapus, mulai dari dihapusnya SIUPP sampai pembubaran Deppen. Kenyataan sistem politik tersebut memberikan andil dan berpengaruh secara langsung bagi kebebasan sistem komunikasi.

3. Sistem Komunikasi dipengaruhi ileh sistem berfikirnya yang berlandaskan Falsafah Pancasila.

Pancasila sebagai falsafah negara yang mewarnai pola pikir penyelenggara NKRI dan falsafah bangsa yang berasaskan Pancaasila dengan butir nilai yang terkandung didalamnya akan memandu keseluruhan komponen bangsa dalam menyelenggara kegiatan komunikasinya baik dalam komunikasi langsung maupun dengan menggunakan berbagai media massa baik cetak maupun elektronik, baik secara lisan, tulisan maupun audio-visual. Nilai-nilai Pancasila yang akan menjadi landasan dalam pembuatan dan pelaksaanaan Perundangan yang berlaku di segenap wilayah Negara Kesatuan republik Indonesia. Nilai-nilai Pancasila yang akan membingkai berbagai norma adat maupun modern menjadi pranata institusional yang dinamis dalam Sistem Komunikasi Nasional dalam mewujudkan cita-cita nasional yang tertuang dalam tujuan negara Indonesia dan termaktub dalam Preambul UUD1945.

F. HUKUM DALAM SISTEM KOMUNIKASI INDONESIA

Sistem komunikasi Indonesia mempunyai dasar hukum. Secara tersirat terdapat dalam mukadimah UUD 1945 khususnya pada alinea ke empat. Secara tersurat terdapat pada pasal 28F yang berbunyi:

Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.        

Selain diatur dalam hukum dasar negara Indonesia, peraturan dalam berkomunikasi dapat mengacu pada: Undang-undang 32 tahun 2002; Undang-undang 40 tahun 1999; Undang-undang 36 tahun 1999; Undang-undang 8 tahun 1992; KUHP (terdapat beberapa pasal yang mengatur tentang komunikasi) dan sebagainya.

G. FUNGSI SISTEM KOMUNIKASI INDONESIA

Sistem komunikasi haruslah mampu menjalankan fungsi dari pada komunikasi. Lasswell (dalam Nurudin, 2004), menyatakan bahwa fungsi dari komunikasi adalah :

·         Pengawasan lingkungan

Menghubungkan bagian-bagian yang terpisah dari masyarakat untuk menanggapi lingkungannya

·         Menurunkan warisan sosial dari generasi ke generasi berikutnya.

Dalam UU 40 tahun 1999 pada pasal 3 dijelaskan tentang fungsi dari sub sistem komunikasi Indonesia ini adalah:

1. Pers Nasional mempunyai fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial.

2. Di samping fungsi-fungsi tersebut ayat (1), pers nasional dapat berfungsi sebagai lembaga ekonomi.

Sedangkan peranan dari subsistem komunikasi Indonesia ini adalah sebagai berikut:

·         memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui;

·         menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum, dan Hak Asasi Manusia, serta meghormati kebhinekaan;

·         mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat, dan benar;

·         melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum;

·         memperjuangkan keadilan dan kebenaran.

H. DISKRIPSI SISTEM KOMUNIKASI INDONESIA

Nurudin (2004), mendeskripsikan sistek komunikasi Indonesia sebagai berikut:

1. Jika ditinjau dari masyarakat yang mendiami suatu wilayah, terdapat sistem komunikasi pedesaan dengan budaya tradisionalnya, dan sistem kounikasi perkotaan dengan budaya akulturasi antara budaya tradisional dengan budaya modern. Pada masyarakat pedesaan, sistem komunikasi sangat dipengaruhi oleh keberadaan pemimpin pendapat. Pemimpin pendapat menjalankan fungsinya sebagai penerjemah pesan, intrprtator karena kelebihannya dibanding masyarakat kebanyakan.Masyarakat perkotaan, sistem komunikasi dipengaruhi oleh keberadaan media massa.

2. Jika ditinjau dari media yang digunakan, ada sistem media cetak (surat kabar, tabloid, majalah); elektrolit (radio, televisi); media tradisional (wayang,kethoprak, ludruk, lenong, dan sebagainya).

3. Jika ditinjau dari pola komunikasinya, ada sistem komunikasi dengan diri sendiri, komunikasi antarpersona, komunkasi kelompok, komunkasi organisasi, dan komunikasi massa.

G. PERANAN AGAMA DALAM SISTEM KOMUNIKASI INDONESIA

Agama menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah sistem atau prinsip kepercayaan kepada Tuhan, atau juga disebut dengan nama Dewa atau nama lainnya dengan ajaran kebhaktian dan kewajiban-kewajiban yang bertalian dengan kepercayaan tersebut. Agama di dalam penerapannya, khususnya di Indonesia dianggap sesuatu hal yang dipengang teguh oleh penganutnya sebagai pedoman hidupnya. Agama bukanlah hal yang sembarangan, seseorang akan sangat merasa marah bila agama yang ia anut diubah-ubah atau diselewengkan apalagi sampai-sampai dilecehkan oleh penganut agama lain. Oleh karenya, sistem komunikasi di Indonesia berperan sebagai kontrol sosial antar beda penganut agama dan juga menjadi sebuah pembelajaran bagi masyarakat untuk memposisikan keberadaan mereka dalam menjalankan kehidupan bermasyarakat.

Agama Hindu merupakan agama tertua atau agama pertama yang dianut oleh masyarakat Indonesia sebelum menjadi suatu negara. Di dalam agama Hindu terdapat pantangan-pantangan yang tidak boleh dijalankan oleh penganutnya. Bila pantangan-pantangan tesebut tetap dijalankan oleh penganutnya, maka Dewa akan murka kepada masyarakat yang ada didaerah tersebut.

Bila keadaan seperti ini adalah sesuatu hal yang sangat sakral bagi penganut agama Hindu, maka sistem komunikasi yang ada di Indonesia haruslah mengimbanginya; dalam artian sistem komunikasi haruslah selaras dengan tata keagamaan yang ada di daerah itu.

Begitu juga dengan agama yang lain. Seperti halnya agama Islam, yang di dalamnya terdapat larangan-larangan bagi penganutnya untuk tidak melanggar syariat Islam (hukum Allah). Bila larangan-larangan tersebut dilanggar, maka orang tersebut akan mendapat hukuman dari Allah, baik itu hukuman di dunia maupun di akhirat. Hukuman di dunia; bila seorang penganut ajaran agama Islam mengambil yang bukan haknya (mencuri), maka sebagai hukumannya, tangannya akan dipotong. Oleh sebab itu, sitem komunikasi dituntut untuk menyesuaikan keberadaannya dengan agama-agama yang ada dengan tujuan melangsungkan proses sosialisasi interaktif masyarakat demi ke eksistensian dan kestabilan negara.

Sistem komunikasi haruslah mampu menjalankan perannya sebagai alat kontrol dalam kemajemukan agama di Tanah Air. Bila sistem komunikasi tidak menghiraukan agama yang dianggap penganutnya sebagai unsur dan nilai-nilai luhur, maka akan timbul konflik nasional, seperti pemberitaan/informasi yang disiarkan media bersifat melecahkan sebuah agama, karena pemberitaan ataupun informasi yang disalurkan media kepada khalayak merupakan salah satu komponen di dalam sistem komunikasi yang secara tidak langsung akan berdamapak bagi siapa saja yang mendapatkan informasi tersebut, maka pemerintah yang berwenang membuat undang-undang sebagai kekuatan hukum haruslah mempertimbangkan hal-hal yang berkaitan dengan sistem komunikasi itu sendiri agar sistem komunikasi itu dapat mengisi daripada sistem-sistem yang lainnya. Seperti contoh di atas tadi; informasi atau pemberitaan pelecehan terhadap suatu agama akan berdampak kepada perpecahan/konflik di dalam negara itu sendiri.

Agama dapat juga dikatakan sebagai sistem kepercayaan, karena ajaran yang di syiarkan agama merupakan sebuah kepercayaan bagi penganut agama itu sendiri. Akan tetapi kepercayaan lebih dekat kepada budaya atau dapat dikatakan juga bahwa sistem kepercayaan merupakan sebuah unsur dalam sistem budaya. Oleh karena itu, sitem kepercayaan dan sistem budaya saling berkaitan dalam mempengaruhi jalannya sistem komunikasi.

H. PERANAN BUDAYA DALAM SISTEM KOMUNIKASI INDONESIA

Sistem Komunikasi Indonesia sangat erat kaitannya dengan Sistem Sosial Budaya Indonesia yang merupakan cerminan kehidupan masyarakat Indonesia dalam keseharian mereka. Banyak fenomena komunikasi di Indonesia yang setelah ditelusuri, selalu saja ada keterkaitan terhadap latar belakang budaya. Manusia sebagai pelaku budaya memiliki realitas psikis yang dipengaruhi oleh latar belakang kebudayaannya yang tercermin dari ekspresi sikap dan tingkah lakunya. Suatu kebudayaan baik dalam bentuk material maupun nilai dimiliki oleh suatu komunitas sosial tertentu yang memberikan ciri identitas kepadanya, sehingga individu yang berada dalam komunitas sosial tersebut memiliki identitas yang seragam walaupun mungkin intensitasnya berbeda-beda. Keadaan inilah yang pada gilirannya akan dapat menciptakan hubungan yang harmonis dan timbullah keserasian bahkan dapat pula menciptakan stabilitas.

Perbedaan latar belakang kultur memang dapat menimbulkan penafsiran yang berbeda terhadap suatu objek yang ditafsirkan. Dalam proses komunikasi; objek yang menghubungkan pihak yang berkomunikasi adalah pesan. Penafsiran terhadap pesan dapat berbeda-beda. Oleh sebab itu diperlukan suatu pola tertentu agar dapat membentuk suatu gambaran yang sama terhadap suatu objek. Realitas sosial yang mempunyai sistem dan tata nilai yang jelas merupakan salah satu tujuan kegiatan komunikasi sesuai dengan pandangan hidup yang mendasari filsafat suatu bangsa. Hal ini baru akan terjadi bila proses komunikasi yang terjadi memenuhi beberapa unsur untuk sampai kepada realitas sosial tertentu.

Perkembangan dunia industri dan teknologi komunikasi dewasa ini, khususnya dalam kajian komunikasi massa memiliki implikasi khusus dalam menciptakan masyarakat yang well informed (peka informasi). Bahkan dengan munculnya media-media baru, banyak budaya luar yang masuk ke Indonesia tanpa mengalami filterasi terlebih dahulu. Misalnya saja fenomena perwajahan media cetak Indonesia yang semakin hari semakin bebas berekspresi dengan tak luput dari sentuhan-sentuhan sensualitas bahkan secara ekstrim mungkin telah mengarah pada pornografi. Hal ini tentu saja bertentangan dengan latar belakang budaya dan agama, khususnya budaya yang di dalamnya mengandung nilai-nilai agama Islam, seperti adat Aceh, Jawa, Minang, Melayu, dan lain-lain. Dalam adat Jawa mungkin ada pakaian kemben yang dalam aplikasinya menitikberatkan pada budaya sopan-santunnya/tatakrama. Sementara dalam soal berbusana, saya menganut paham Islam yakni agama saya, yang mewajibkan kaum perempuan untuk berpakaian sopan, bahkan menutup seluruh tubuhnya kecuali muka dan telapak tangan. Pers bebas di Indonesia sedikit banyak berpotensi untuk menggeser norma-norma ketimuran Indonesia yang identik dengan sopan-santun budaya Jawa. Oleh karena itu, fenomena keterlibatan media massa di Indonesia perlu ditelaah dan diputuskan solusinya agar tidak melanggar norma-norma agama dan budaya bangsa yang telah tercantum di dalam Pancasila yang akan menjadi prasyarat demi terbentuknya Sistem Komunikasi Indonesia yang baik.

Selain itu, mengutip dari tulisan seorang Staf pengajar Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi 'Pembangunan' Medan dan Program Pascasarjana IAIN-SU Bidang Studi Komunikasi Islam, H. Kosky Zakaria dalam WASPADA Online Rabu, 19 September 2007 01:00 WIB. Ia mengatakan, budaya juga dapat mempengaruhi komunikasi dan bahasa karena penggunaannya yang berbeda pada masing-masing suku. Para pakar komunikasi terutama dalam hal komunikasi antarmanusia selalu melihat budaya sebagai titik tolak bagi orang-orang atau individu saat melakukan komunikasi sesama manusia yang memiliki latarbelakang budaya yang berbeda. Penggunaan bahasa sebagai sarana komunikasi juga kuat dipengaruhi oleh budaya masing-masing individu yang terlibat baik sebagai komunikator maupun komunikan. Para ahli komunikasi dalam hal penggunaan bahasa berkata bahwa 'bahasa bisa memenjarakan kita, namun bahasa juga bisa membebaskan kita.' Bahasa merupakan atau dapat dianggap alat interaksi dalam kehidupan kita. Bahasa memberi kerangka yang akan memberikan harapan-harapan kepada kita dan dengan demikian menimbulkan persepsi bagi para individu yang terlibat dalam komunikasi itu sendiri.

Sementara itu, bahasa dan komunikasi lisan bisa menciptakan kesalahpahaman atau salah mengerti, salah tanggap, namun bahasa lisan ini pun ada baiknya pula, yaitu dapat mengklarifikasi kesalahpahaman yang terjadi. Kita maklum bahwa setiap bahasa bisa dikatakan sebagai merefleksikan sistem yang menurut kita logis dan masuk akal. Bahasa sebagai suatu sistem simbol atau lambang bisa berubah kalau berkaitan dengan ide, perasaan, pengalaman, peristiwa dan fenomena lainnya dan dipengaruhi oleh aturan-aturan yang berlapis-lapis yang dikembangkan oleh masyarakat tertentu. Sebagaimana dinyatakan oleh ahli bahasa, bahwa bahasa manusia ini disusun atau ditata berdasarkan pada sekumpulan aturan yang disepakati, seperti fonologi (berkaitan dengan bunyi), morfologi (berkaitan dengan bentuk kata), sintaksis (berkaitan dengan penyusunan kata-kata menjadi suatu kalimat), kemudian semantik (berkenaan dengan arti kata), serta terakhir apa yang dinamakan pragmatis (memandang sesuatu menurut kegunaannya).