A.  DEFINISI PSIKOLOGI KOMUNIKASI

·         menurut George A. Miller, psikologi komunikasi adalah ilmu yang berusaha menguraikan, meramalkan dan mengendalikan peristiwa mental dan perilaku dalam komuikasi

·         psikologi komunikasi adalah ilmu yang mempelajari komunikasi dari aspek psikologi. (jalaludin rahmat)

·         psikologi komunikasi adalah ilmu yang menelitik kesadaran dan pengalaman manusia.

B.   5 TEORI PSIKOLOGI KOMUNIKASI

1.     Teori Kultivasi

Teori kultivasi melihat bagaimana televisi membentuk pandangan kita dari apa yang diinginkan dunia sosial.

Teori kultivasi didasarkan pada beberapa asumsi -asumsi mengenai televisi dan cara kita melihatnya. Asumsi-asumsi ini tidak mendahului program penelitian tetapi telah berkembang sebagai teori dalam penelitian ini tradisi mengakumulasi lebih banyak dan lebih banyak bukti tentang bagaimana kita menonton televisi dan efek televisi pada kehidupan sehari-hari dan pandangan dunia. Asumsi-asumsi ini summa-rized oleh Gerbner (1990).

Televisi telah jelas berubah pada berbagai tingkatan. Tapi perubahan ini dangkal. Nilai-nilai yang mendasarinya, demografi, ideologi, dan hubungan kekuasaan telah terwujud hanya sedikit fluktuasi dengan hampir tidak ada yang penyimpangan signifikan instalasi dari waktu ke waktu, meskipun sebenarnya perubahan-perubahan sosial yang telah terjadi. Teori kultivasi juga telah mengembangkan ide-ide tentang bagaimana kita melihat televisi. Secara khusus, mereka berpendapat bahwa "pemirsa menonton oleh jam" (Gerbner, 1990, 54). Teori kultivasi bersikukuh dengan berpendapat bahwa budaya bukan rangsangan atau model respons sederhana, model perubahan satu arah, atau model penguatan (Morgan cocok Signorielli, 1990).

Teori kultivasi paling sering diuji melalui perbandingan isi televisi dan kepercayaan orang-orang tentang sifat dari dunia. Pada awal dan mendefinisikan pekerjaan Gerbner dan rekan-rekannya, kedua potongan teka-teki yang disebut sebagai analisis isi dan analisis indikator budaya. Langkah pertama untuk menguji teori budidaya adalah penentuan konten televisi melalui conten analisis. Kedua, pengujian proses kultivasi melibatkan individu menilai keyakinan tentang dunia seperti apa dunia. Kemudian analisis kultivasi diuji hipotesis yang terdiri dari perbandingan antara keterangan penonton televisi dan pemirsa televisi berat. Jika pemirsa televisi berat 80 cenderung memberikan jawaban yang lebih sesuai dengan tanggapan televisi, peneliti akan memiliki dukungan untuk hipotesis kultivasi. Beberapa yang paling awal dari kritik teori kultivasi dicatat efek yang relatif kecil yang ditemukan untuk proses kultivasi dan fakta bahwa efek itu lebih jauh berkurang ketika mengendalikan jumlah variabel demografis yang relevan (misalnya, umur, jenis kelamin, pendidikan). Potter (1991a, 1993) berpendapat bahwa hubungan antara menonton televisi dan pandangan dunia mungkin bukan linear dan simetris yang diduga oleh satu teori kultivasi.

Dalam buku teori komunikasi Katherine Miller bab 15 mengenai teori media dan masyarakat menjelaskan mengenai beberapa teori yang berkaitan dengan sistem penyampaian informasi oleh media terhadap opini public dan perubahan masyarakat. Mulai dari teori agenda setting, teori spiral of silence dan teori mengenai kultivasi. Selain menjelaskan mengenai proses pengembangan tiap-tiap teori serta pembagian proses teori, dalam buku ini juga membahas kritikan dan sejumlah masukan mengenai pengembangan teori yang disesuaikan dengan pengembangan komunikasi.

Teori kultivasi merupakan teori yang menggambarkan mengenai cara perkembangan perubahan kebiasaan masyarakat yang disebabkan oleh media massa. Dalam teori kultivasi lebih menitikberatkan pada pengaruh siaran televisi. Teori kultivasi ini di awal perkembangannya lebih memfokuskan pengkajiannya pada studi televisi dan audiens, khusus memfokuskan pada tema-tema kekerasan di televisi. Akan tetapi dalam perkembangannya teori tersebut bisa digunakan untuk kajian di luar tema kekerasan. Teori ini menitik beratkan pada asumsi yang akan terjadi pada masyarakat dari penayangan siaran televisi yang ditonton.

Salah satu contohnya adalah pada siaran televisi yang menayangkan kekerasan dan ditonton oleh anak-anak. Jika proses kultivasi yang disampaikan oleh media massa terutama televisi telah mengakibatkan perubahan sikap dalam diri anak-anak. Mereka juga seakan-akan tidak tahu lagi apa yang semestinya dilakukan oleh anak-anak, sehingga ini mengakibatkan anak-anak seakan telah bersikap dewasa atau dengan kata lain merasa dirinya bukan lagi di usia yang sebenarnya. Siaran televisi ini akan berakibat baik bila pesan yang disampaikan adalah pesan-pesan yang baik dan bermoral. Sebaliknya, akan menjadi bahaya besar ketika televisi menyiarkan program-program yang bobrok dan amoral, seperti kekerasan dan kriminalitas.

Dalam teori kultivasi yang dijadikan penelitian adalah dampak yang disebabkan oleh televisi terhadap penerimaan oleh masyarakat. Pengembangan siaran televisi yang mempengaruhi manusia untuk menjadikannya sebagai suatu kebutuhan dalam mendapatkan informasi terkadang juga telah mengakibatkan terpengaruhnya cara berfikir audien mengenai sesuatu hal yang kemudian diterapkan dalam kehidupan keseharinnya. (Sumber: http://rizhacommunication.blogspot.com/2010/03/teori-media-dan-masyarakat-katherine.html)

2.     Teori Spiral of Silence

Teori spiral of silence, upaya untuk menjelaskan bagaimana komunikasi interpersonal yang dimediasi dan bekerja sama untuk membungkam suara-suara buku tebal dalam perdebatan publik dan mempengaruhi pasang surut dan arus opini publik.

Teori spiral keheningan mengusulkan bahwa orang akan enggan untuk mengungkapkan pendapat jika mereka menjadi percaya saat ini bertentangan dengan pendapat mereka sendiri atau jika mereka percaya bahwa pendapat sudah berubah ke arah yang bertentangan dengan pendapat mereka sendiri. Noelle-Neumann percaya bahwa efek ini akan sangat tegas sehubungan dengan prediksi dinamis opini publik tentang suatu masalah dan akan tergantung pada penilaian masa depan pendapat ketika saat ini dan masa yang akan datang penilaian tidak setuju. Noelle-Neumann melihat teori spiral keheningan sebagai mencakup semua teori opini publik yang menghubungkan proses psikologi social yang berbeda, interper sonal komunikasi, dan media massa.

Noelle-Neumann juga melihat spiral keheningan sebagai sebuah proses dinamis. Noelle-Neumann percaya bahwa keengganan untuk berbicara pada suatu isu tertentu akan lebih meningkatkan penggambaran media dan pribadi menilai bahwa pendapat yang berlaku terhadap beberapa pendapat. Sebagai gambaran dan penilaian ini menjadi lebih dimodifikasi, beberapa individu akan cacat dengan pendapat yang tampaknya berlaku atau setidaknya akan gagal untuk merekrut orang baru yang kurang dominan. Sebagai Akibatnya, opini yang sebenarnya prediksi akan mengikuti pendapat dan spiral ke bawah.

Noelle-Neumann tidak mengusulkan bahwa spiral keheningan adalah proses menyeluruh,, namun la menunjuk tiga peringatan yang membatasi penerapan teori untuk spesifik isu dan orang-orang. Pertama, teori akan terbuka hanya ketika masalah yang dihadapi adalah masalah moral baik dan buruk, bukan faktual terbitan yang dapat berdebat dan diselesaikan melalui interaksi rasional dan logis. Kedua, mencatat bahwa keengganan untuk berbicara keluar akan kurang diucapkan dalam berpendidikan tinggi dan lebih kaya bagian dari populasi. Ketiga, untuk setiap topik yang keras pendukung inti akan selalu bersedia untuk berbicara dalam suatu masalah, menganggap persepsi yang kurang dari pendapat yang berlaku dalam arah yang berlawanan.

Teori kebisuan spiral adalah model relatif mudah pembentukan opini publik dan perubahan. Namun, dalam beberapa hal yang cukup rumit, jauh melibatkan fenomena di berbagai tingkat analisis (yaitu psikologis, interpersonal, dan media) dan berpendapat rumit selama-waktu perubahan. Beberapa variabel tambahan telah diidentifikasi sebagai faktor-faktor yang memprediksi kesediaan untuk berbicara di hadapan sebaliknya sentimen publik. Ini termasuk kekuatan dan kepastian pendapat, kepentingan kaki dan tangan politik, dan individu tingkat efektivitas diri.

Dalam buku teori komunikasi Katherine Miller bab 15 mengenai teori media dan masyarakat menjelaskan mengenai beberapa teori yang berkaitan dengan sistem penyampaian informasi oleh media terhadap opini public dan perubahan masyarakat. Mulai dari teori agenda setting, teori spiral of silence dan teori mengenai kultivasi. Selain menjelaskan mengenai proses pengembangan tiap-tiap teori serta pembagian proses teori, dalam buku ini juga membahas kritikan dan sejumlah masukan mengenai pengembangan teori yang disesuaikan dengan pengembangan komunikasi.

Teori spiral keheningan menjelaskan menegenai seseorang akan mempunyai kemungkinan untuk tidak akan mengungkapkan pendapatnya saat dia merasa bahwa apa yang terjadi pendapat yang berkembang telah tidak sesuai lagi dengan apa yang dinggap benar oleh orang tersebut. Hal ini menyengkut dengan opini publik mengenai suatu hal tertentu.

Dalam buku ini mencontohkan dalam hal pemilu di German yang diukuti dua partai besar Sosial Demokrat dan Cristian Demokrat, saat awal dilakukan poling keduanya memiliki harapan yang sama dari masyarakat untuk menang. Namun prediksi yang dilakukan dari voting dua bulan sebelum pemilu berbeda dengan apa yang terjadi saat pemilu. Dalam teori ini menunjukkan jika opini public tidak hanya diperlihatkan lewat apa yang dikatakan, karena terkadang yang dilakukan tersebut hanya dilakukan karena takut terosilasi dan juga ketika mereka percaya pendapat yang berlaku bertentangan dengan pendapat mereka sendiri ini bergerak ke arah yang jauh dari pendapat mereka, orang-orang tidak akan mau berbicara. Teori spiral silence ini sangat berkaitan dengan berbagai tingkat analisis, antara lain, psikologi, interpersonal dan media.

(Sumber: http://rizhacommunication.blogspot.com/2010/03/teori-media-dan-masyarakat-katherine.html)

 

3.     Teori Komunikasi Media dan Masyarakat: Teori Agenda Setting

Teori ini mengambarkan mengenai bagaimana media massa mengatur dan mempengaruhi masyarakat dalam menentukan informasi. Media massa dapat membuat suatu agenda informasi yang nantinya akan dianggap penting oleh masyarakat. Begitu juga sebaliknya pemberitaan yang dianggap tidak penting oleh media akan menjadi tidak penting juga dalam masyarakat. Dalam agenda setting opini tentang suatu topik tertentu media massa dapat mempengaruhi oponi publik serta cara pandang masyarakat terhadap suatu hal. Salah satunya dapat dicontohkan, pemberitaan media massa mengenai pengambilan atau klaim dari Negara Malaysia terhadap beberapa kebudayaan Indonesia yang akhirnya menyebabkan suatu opini public yang negatif terhadap Negara Malayasia yang dianggap sebagai pencuri kepemilikan orang lain. Contoh lainnya saat media massa memberitakan suatu keburukan dari suatu perusahaan yang dianggap telah merugikan masyarakat, maka saat itu pula tanggapan masyarakat terhadap perusahaan tersebut akan menjadi buruk.

Teori ini banyak digunakan dalam mengakampanyekan calon dalam suatu pemilihan, baik itu pemilihan gubernur maupun presiden. Pemberitaan mengenai baik dan buruknya seorang calon akan mempengaruhi persepsi masyarakat terhadap calon yang akan diplihnya. (Sumber: http://rizhacommunication.blogspot.com/2010/03/teori-media-dan-masyarakat-katherine.html)

4.     Teori Peluru atau Jarum Hipodermik

Teori Peluru ini merupakan konsep awal efek komunikasi massa yang oleh para pakar komunikasi tahun 1970-an dinamakan pula Hypodermic Needle Theory (Teori Jarum Hipodermik). Teori ini ditampilkan tahun 1950-an setelah peristiwa penyiaran kaleidoskop stasiun radio siaran CBS di Amerika berjudul The Invansion from Mars (Effendy.1993:264-265).

Istilah model jarum hipodermik dalam komunikasi massa diartikan sebagai media massa yang dapat menimbulkan efek yang kuat, langsung, terarah,dan segera. Efek yang segera dan langsung itu sejalan dengan pengertian Stimulus-Respon yang mulai dikenal sejak penelitian dalam psikologi tahun 1930-an.

Model jarum suntik pada dasarnya adalah aliran satu tahap (one step flow), yaitu media massa langsung kepada khalayak sebagai mass audiance. Model ini mengasumsikan media massa secara langsung, cepat, dan mempunyai efek yang amat kuat atas mass audiance. Media massa ini sepadan dengan teori Stimulus-Response (S-R) yang mekanistis dan sering digunakan pada penelitian psikologi antara tahun 1930 dan 1940. Teori S-R mengajarkan, setiap stimulus akan menghasilkan respons secara spontan dan otomatis seperti gerak refleks. Seperti bila tangan kita terkena percikan api (S) maka secara spontan, otomatis dan reflektif kita akan menyentakkan tangan kita (R) sebagai tanggapan yang berupa gerakkan menghindar. Tanggapan di dalam contoh tersebut sangat mekanistis dan otomatis, tanpa menunggu perintah dari otak.

Teori peluru atau jarum hipodermik mengansumsikan bahwa media memiliki kekuatan yang sangat perkasa dan komunikan dianggap pasif atau tidak tahu apa-apa. Teori ini mengansumsikan bahwa seorang komunikator dapat menembakkan peluru komunikasi yang begitu ajaib kepada khalayak yang tidak berdaya (pasif).

Menurut Elihu Katz, model ini berasumsi :

1.    Media massa sangat ampuh dan mampu memasukkan ide-ide pada benak komunikan yang tak berdaya.

2.    Khalayak yang tersebar diikat oleh media massa, tetapi di antara khalayak tidak saling berhubungan.

Model Hypodermic Needle tidak melihat adanya variable-variable antara yang bekerja diantara permulaan stimulus dan respons akhir yang diberikan oleh  mass audiance. Elihu Katz dalam bukunya,  “The Diffusion of New Ideas and Practices” menunjukkan aspek-aspek yang menarik dari model hypodermic needle ini, yaitu

1.    Media massa memiliki kekuatan yang luar biasa, sanggup menginjeksikan secara mendalam ide-ide ke dalam benak orang yang tidak berdaya.

2.    Mass audiance  dianggap seperti atom-atom yang terpisah satu sama lain, tidak saling berhubungan dan hanya berhubungan dengan media massa. Kalau individu-individu mass audience berpendapat sama tentang suatu persoalan, hal ini bukan karena mereka berhubungan atau berkomunikasi satu dengan yang lain, melainkan karena mereka memperoleh pesan-pesan yang sama dari suatu media (Schramm, 1963)

Model Hypodermic Needle cenderung sangat melebihkan peranan komunikasi massa dengan media massanya. Para ilmuwan sosial mulai berminat terhadap gejala-gejala tersebut dan berusaha memperoleh bukti-bukti yang valid melalui penelitian-penelitian ilmiah.

Teori Peluru yang dikemukakan Schramm pada tahun 1950-an ini kemudian dicabut kembali tahun 1970-an, sebab khalayak yang menjadi sasaran media massa itu tenyata tidak pasif. Pernyataan Schramm ini didukung oleh Lazarsfeld dan Raymond Bauer.

Lazarfeld mengatakan bahwa jika khalayak diterpa peluru komunikasi, mereka tidak jatuh terjerembab, karena kadang-kadang peluru itu tidak menembus. Ada kalanya efek yang timbul berlainan dengan tujuan si penembak. Sering kali pula sasaran senang untuk ditembak. Sedangkan Bauer menyatakan bahwa khalayak sasaran tidak pasif. Mereka secara aktif mencari yang diinginkannya dari media massa, mereka melakukan interpretasi sesuai dengan kebutuhan mereka.

5.     Teori penggunaan dan pemenuhan kepuasan

Teori Penggunaan dan Pemenuhan Kebutuhan (bahasa Inggris: Uses and Gratification Theory) adalah salah satu teori komunikasi dimana titik-berat penelitian dilakukan pada pemirsa sebagai penentu pemilihan pesan dan media.

Pemirsa dilihat sebagai individu aktif dan memiliki tujuan, mereka bertanggung jawab dalam pemilihan media yang akan mereka gunakan untuk memenuhi kebutuhan mereka dan individu ini tahu kebutuhan mereka dan bagaimana memenuhinya. Media dianggap hanya menjadi salah satu cara pemenuhan kebutuhan dan individu bisa jadi menggunakan media untuk memenuhi kebutuhan mereka, atau tidak menggunakan media dan memilih cara lain.

Teori Penggunaan dan Pemenuhan Kebutuhan menggunakan pendekatan ini berfokus terhadap audiens member. Dimana Teori ini mencoba menjelaskan tentang bagaimana audiens memilih media yang mereka inginkan. Dimana mereka merupakan audiens / khalayak yang secara aktif memilih dan memiliki kebutuhan dan keinginan yang berbeda – beda di dalam mengkonsumsi media.

Menurut para pendirinya, Elihu Katz, Jay G. Blumlerm dan Michael Gurevitch uses and gratifications meneliti asal mula kebutuhan secara psikologis dan sosial, yang menimbulkan harapan tertentu dari media massa atau sumber-sumber lain , yang membawa pada pola terpaan media yang berlainan, dan menimbulkan pemenuhan kebutuhan dan akibat-akibat lain.

Pendekatan ini secara kontras membandingkan efek dari media dan bukan ‘apa yang media lakukan pada pemirsanya’ (kritik akan teori jarum hipodermik, dimana pemirsa merupakan obejk pasif yang hanya menerima apa yang diberi media).

Sebagaimana yang diketahui, bahwa kebutuhan manusia yang memiliki motif yang berbeda – beda. Dengan kata lain, setiap orangm emiliki latar belakang, pengalaman dan lingkungan yang berbeda. Perbedaan ini, tentunya berpengaruh pula kepada pemilihan konsumsi akan sebuah media. Katz, Blumler, Gurevitch mencoba merumuskan asumsi dasar dari teori ini , yaitu : Khalayak dianggap aktif, dimana penggunaan media massa diasumsikan memiliki tujuan. Point kedua ialah, dalam proses komunikasi massa banyak inisiatif yang mengaitkan pemuasan kebutuhan dengan pemilihan media terletak pada anggota khalayak. Point ketiga, media massa harus bersaing dengan sumber – sumber lain untuk memuaskan kebutuhannya. Dimana kebutuhannya ialah untuk memuaskan kebutuhan manusia, hal ini bergantung kepada khalayak yang bersangkutan. Point keempat, banyak tujuan pemilih media massa disimpulkan dari data yang diberikan anggota khalayak. Point kelima adalah Nilai pertimbangan seputar keperluan audiens tentang media secara spesifik.

Teori Penggunaan dan Pemenuhan Kepuasan dapat dilihat sebagai kecenderungan yang lebih luas oleh peneliti media yang membuka ruang untuk umpan balik dan penerjemahan prilaku yang lebih beragam. Namun beberapa komentar berargumentasi bahwa pemenuhan kepuasan seharusnya dapat dilihat sebagai efek, contohnya film horror secara umum menghasilkan respon yang sama pada pemirsanya, lagipula banyak orang sebenarnya telah menghabiskan waktu di depan TV lebih banyak daripada yang mereka rencanakan. Menonton TV sendiri telah membentuk opini apa yang dibutuhkan pemirsa dan membentuk harapan-harapan.

Teori Penggunaan dan Pemenuhan Kepuasan pada awalnya muncul ditahun 1940 dan mengalami kemunculan kembali dan penguatan di tahun 1970an dan 1980an. Para teoritis pendukung Teori Penggunaan dan Pemenuhan Kepuasan berargumentasi bahwa kebutuhan manusialah yang memengaruhi bagaimana mereka menggunakan dan merespon saluran media. Zillman sebagaimana dikutip McQuail telah menunjukkan pengaruh mood seseorang saat memilih media yang akan ia gunakan, pada saat seseorang merasa bosan maka ia akan memilih isi yang lebih menarik dan menegangkan dan pada saat seseorang merasa tertekan ia akan memilih isi yang lebih menenangkan dan ringan. Program TV yang sama bisa jadi berbeda saat harus kepuasan pada kebutuhan yang berbeda untuk individu yang berbeda. Kebutuhan yang berbeda diasosiasikan dengan kepribadian seseorang, tahap-tahap kedewasaannya, latar belakang, dan peranan sosialnya. Sebagai contoh menurut Judith van Evra anak-anak secara khusu lebih menyukai untuk menonton TV untuk mencari informasi dan disaat yang sama lebih mudah dipengaruhi

 
Picture
    Dari sekian banyak teori yang berhubungan dengan komunikasi, ada satu teori yang menarik menurut saya yaitu teori labelling. Dalam kehidupan kita sejak bayi hingga dewasa selamanya kita tidak dapat lepas dari teori yang satu ini. Disadari atau tidak, besar atau kecil, labelling turut mentukan sikap dan kondisi kita saat ini. Kok bisa? simak pemaparan dibawah ini yuuk... 

TEORI LABELING

  Labeling adalah sebuah definisi yang ketika diberikan pada seseorang akan menjadi identitas diri orang tersebut, dan menjelaskan orang dengan tipe bagaimanakah dia. Dengan memberikan label pada diri seseorang, kita cenderung melihat dia secara keseluruhan kepribadiannya, dan bukan pada perilakunya satu per satu. Labelling bisa juga disebut sebagai penjulukan/ pemberian cap.

   Menurut Lemert (dalam Sunarto, 2004) Teori Labeling adalah penyimpangan yang disebabkan oleh pemberian cap/ label dari masyarakat kepada seseorang yang kemudian cenderung akan melanjutkan penyimpangan tersebut.


Lahirnya teori labeling

  Diinspirasi oleh perspektif interaksionisme simbolik dan telah berkembang sedemikian rupa dengan riset-riset dan pengujiannya dalam berbagai bidang seperti, kriminolog, kesehatan mental, kesehatan dan pendidikan.

  Teori labelling dipelopori oleh Lemert dan Interaksionisme simbolik dari Herbert Mead (dalam Sunarto, 2004). Kemudian dikembangkan oleh Howard Becker pada tahun 1963. Awalnya, menurut Teori Struktural devian atau penyimpangan dipahami sebagai perilaku yang ada dan merupakan karakter yang berlawanan dengan norma-norma sosial. Devian adalah bentuk dari perilaku.


Penerapan teori labeling

   Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Martina Rini S. Tasmin, SPsi. Dalam teori labelling ada satu pemikiran dasar, dimana pemikiran tersebut menyatakan “seseorang yang diberi label sebagai seseorang yang devian dan diperlakukan seperti orang yang devian akan menjadi devian”.

    Penerapan dari pemikiran ini akan kurang lebih seperti berikut “anak yang diberi label bandel, dan diperlakukan seperti anak bandel, akan menjadi bandel”. Atau penerapan lain “anak yang diberi label bodoh, dan diperlakukan seperti anak bodoh, akan menjadi bodoh”. Bisa juga seperti ini “Anak yang diberi label pintar, dan diperlakukan seperti anak pintar, akan menjadi pintar”.

  Hal ini berkaitan dengan pemikiran dasar teori labelling yang biasa terjadi, ketika kita sudah melabel seseorang, kita cenderung memperlakukan seseorang sesuai dengan label yang kita berikan, sehingga orang tersebut cenderung mengikuti label yang telah ditetapkan kepadanya.

Penggambaran teori labeling
Ada dua konsep lain yang menarik dalam Teori Penjulukan:
1. Master Status

   Teori penjulukan memiliki label dominant yang mengarah pada suatu keadaan yang disebut dengan Master Status. Maknanya adalah sebuah label yang dikenakan (Dikaitkan) yang biasanya terlihat sebagai karakteristik yang lebih atau paling panting atau menonjol dari pada aspek lainnya pada orang yang bersangkutan.

    Bagi sebagian orang julukan penyimpangan telah diterakan, atau yang biasa disebut dengan konsep diri, mereka menerima dirinya sebagai penyimpang. Bagaimanapun hal ini akan membuat keterbatasan bagi perilaku para penyimpang selanjutnya di mana mereka akan bertindak.
 
    mereka akan mulai bertindak selaras dengan sebutan itu. Dampaknya mungkin keluarga, teman, atau lingkungannya tidak mau lagi bergabung dengan yang bersangkutan. Dengan kata lain orang akan mengalami stigma sebagai penyimpang/menyimpang dengan berbagai konsekwensinya, ia akan dikeluarkan dari kontak dan hubungan-hubungan yang yang ada (konvensional). Kondisi seperti ini akan sangat menyulitkan yang bersangkutan untuk menata identitasnya dari seseorang yang bukan deviant. Akibatnya, ia akan mencoba malihat dirinya secara mendasar sebagai criminal, terutama sekarang ia mengetahui orang lain memanggilnya sebagai jahat.

    Melewati rentang waktu yang panjang di mana orang memperlakukannya sebagai kriminal dalam berbagai hal dan ia mungkin akan kehilangan dan tidak akan mendapatkan pekerjaan. Bahkan mungkin lama kelamaan akan mempercayai bahwa kejahatan adalah jalan hidupnya, dan ia akan membangun koneksinya dengan orang-orang yang memiliki nasib yang sama dan menciptakan subkulturnya yag baru. Sekarang ia menjadi deviant career.

 
2. Deviant Career

   Konsep Deviant Career mengacu kepada sebuah tahapan ketika si pelanggar aturan (penyimpang) memasuki atau telah menjadi devian secara penuh (outsider). Kai T. Erikson dalam Becker (9 Januari 2005) menyatakan bahwa penyimpangan bukanlah suatu bentuk periaku inheren, tetapi merupakan pemberian dari anggota lingkungan yang mengetahui dan menyaksikan tindakan mereka baik langsung maupun tidak langsung.

Contoh teori labeling
   Salah satu contoh ialah cap yang diberikan masyarakat pada remaja yang dianggap berperilaku menyimpang. Yang lebih parah, remaja tersebut sependapat pula dengan persepsi demikian. Sehingga pola penyimpangan mereka diperkutat yang mengakibatkan tidak mungkin bagi mereka untuk melepaskan diri dari pola penyimpangan semacam itu. Sekali para remaja itu mempunyai citra diri sebagai penyimpangan, maka mereka pun akan memilih teman-teman baru yang bisa mempertebal citra diri mereka. Manakalah konsep diri itu semakin tertanam, mereka pun bersedia mencoba penyimpangan baru yang lebih buruk.

   Menurut para penganut teori labeling, banyak kenakalan remaja muncul karena cara penanggulangan sembrono dari pihak polisi, pengadilan dan petugas lainnya yang secara tidak sadar mengajar para remaja untuk memandang diri mereka sebagai anak nakal, serta berperilaku seperti anak nakal.

    Namun kejadian tersebut bukannya proses yang selalu demikian; dengan kata lain, penyimpangan tidaklah selamanya seperti dicampakkan kebawah tanpa dapat berbuat apa-apa. Sang penyimpang tetap mempunyai pilihan. Maksudnya dalam proses menjadi seorang yang nakal, orang itu sendirilah yang menentukan arahnya.

Penutup
     Mungkin sudut pandang Teori Penjulukan sangat empatis pada korban atau devian, dan menempatkan masyarakat sebagai institusi pemberi label. Namun tentu banyak hal lain juga yang masih perlu dijelaskan. Seolah-olah kita menganggap masyarakat agen opini pemberi label (di satu pihak), padahal hakekatnya menjadi pertemuan yang disengaja atau tidak, individu yang diberi label juga memiliki keunikan (inheren) demikian (di lain pihak). Dirinya Bertindak sengaja dari awal untuk mejadi (to be) sesuatu atau demikian.

    Hakekatnya tetap bahwa individu memang diciptakan unik (berbeda) dan masyarakat melalui interaksi sosial telah secara konspiratif memberikan nama kepada keunikan-keunikan individu itu untuk digunakan secara bersama-sama.

Terimakasih…
 
Picture
     Di dunia ini terdapat banyak bentuk sistem pers yang berlaku. Sistem pers tersebut biasanya terbentuk atau diberlakukan sesuai dengan kondisi perpolitikan dan pemerintahan di suate negara. Sehingga setiap tempat tentu menganut sistem pers yang berbeda pula. artikel berikut ini membahas macam-macam sistem pers secara global, teori terkait sistem pers serta bahasan terkait sistem pers yang berlaku di Indonesia. Selamat menyimak...

SISTEM PERS GLOBAL

PERS OTORITER


Perkembangan otorisme pada pertengahan abad ke-15 juga menyebabkan timbul satu konsep otoriter di kehidupan pers di dunia, berawal di Inggris, Perancis dan Spanyol dan kemudian menyebar ke Rusia, Jerman, Jepang, dan negara-negara lain di Asia dan Amerika Latin pada abad ke-16. Dengan prinsip dasar otorisme yangcukup sederhana bahwa pers hadir untuk mendukung negara dan pemerintah. Mesin cetak yang ketika itu baru diciptakan tidak dapat digunakan untuk mengecam dan menentang negara atau penguasa. Pers bertungsi secara vertikal dari atas ke bawah dan penguasa berhak menentukan apa yang akan diterbitkan atau disebarluaskan dengan monopoli kebenaran di pihak penguasa. Konsep ini didukung oleh teori Hegel, Plato dan Karl Marx yang pada inti ajarannya (meskipun cenderung pada konsep sosialisme) mengagungkan negara sedemikian rupa dan berpendapat bahwa negara memiliki hak dan kewajiban untuk membela dan melindungi dirinya sendiri dengan segala cara yang dipandang perlu. Kekuatan pers yang diakui sebaga ikekuatan keempat (fourth estate) menyebabkan negara atau penguasa mengalami phobia terhadap pers yang selalu menjadi pihak yang pertama tahu dan biang untuk menyebarkan kelemahan dan cela atau hal-hal yang merugikan negara atau penguasa.

Bagi penguasa otoriter keanekaragaman dapat menimbulkan konflik dan ketidak sepakatan yang akibatnya sangat mengganggu dan bahkan sering subversif. Konsensus dan keseragaman merupakan tujuan yang logis dan dapat dipahami dalam komunikasi massa. Seperti pendapat yang dikemukakan Samuel Johnson bahwa setiap masyarakat memiliki hak untuk mempertahankan ketertiban dan perdamaian di depan umum, maka masyarakat berhak untuk melarang penyebaran pendapat yang cenderung berbahaya.

Pendapat ini yang sebenarnya tidak masukakal juga bagi pemimpin atau penguasa negara berkembang yang miskin yang dihadapkan pada kenyataan bahwa keharusan untuk melakukan integrasi politik danpembangunan ekonomi lebih diutamakan akhirnya tidak bisa membiarkan pendapat-pendapat atau pandangan yang dianggapnya dapat mengganggu dan menghasut. Berkaitan dengan konsep integritas yang diharapkan negara-negara yangsedang membangun dimana struktur masyarakatnya berada dalam masa peralihan,media massa bisa dianggap sebagai salah satu biang terganggunya perkembangan masyarakat dan ketertiban. Hal inilah belakangan menjadi bahan yang menarikperhatian mahasiswa atau sarjana komunikasi massa, dimana terdapat dugaan bahwa media massa dilihat berkaitan dengan masalah urbanisasi yang berlangsungcepat, mobilitas sosial, dan kerapuhan komunitas tradisional, yang secara khusus dihubungkan dengan dislokasi sosial, dugaan meningkatnya kebobrokan moral, kriminalitas dan kekacauan.

Munculnya film dari luar dan ketakutan bahwa komik-komik impor berpotensi untuk merusak dan menghambat perkembangan berpikir anak menjadikan pemerintah merasa memiliki hak untuk mengawasi media massa. Komunikasi massa seringkali dikatakan individualistis, impersonal, dan anomis, oleh karena itu komunikasi massa sangat menunjang punahnya kontrol sosial dan solidaritas.

Dari sinilah pemerintah atau kelas penguasa mengambil tindakan dengan melakukan kontrol pada media massa/pers. Namun pandangan ini tidak mampu lagi melihat bahwa media massa juga menciptakan integritas sosial, karena media massamampu menyatukan individu menjadi kesatuan khalayak besar, juga kemampuannya untuk menyajikan seperangkat nilai, ide, informasi, dan persepsi yang sama kepada setiap orang.

lstilah otoriter mengacu pada tingkat pengaturan pers yang sangat besar. Pers diharapkan netral, namun ditujukan dalam hubungannya dengan pemerintah atau kelas penguasa dengan pengaturan yang disengaja atau tidak disengaja pers digunakan sebagai alat kekuasan negara untuk menekan. Penyensoran pendahuluan dan hukuman atas penyimpangan dari pedoman (seperti pembredelan perusahaan penerbitan pers) khususnya yang berlaku bagi hal-hal yang politis. Bentuk penterapan dan pengungkapan teori otoriter sangat beragam, melalui perundang-undangan, pengendalian produksi secara langsung, kode etik yang diberlakukan, pajak dan jenis sanksi ekonomi lainnya, pengendalian impor media, dan hak pemerintah untuk mengangkat star ptoduksi.

Meskipun telah disadari konsep ini cenderung menekan hak-hak individu atau masyarakat khususnya untuk bebas mengungkapkan, menyebarkan, dan mendapatkan informasi dari kebenaran fakta namun disadari juga bahwa dalam masyarakat prademokrasi atau masyarakat yang berciri kediktatoran adanya kecendrungan otoriter dalam hubungannya dengan media yang umumnya tidak bersifat totaliter tidak bisa diabaikan. ltulah mengapa konsep itu tanpa disadari tetap bertahan dan berlaku dengan kenyataan bahwa pada situasi tertentu konsep otoriterisme mengungkapkan itikad yang populer dan dalam semua masyarakat terdapat berbagai situasi di mana kebebasan pers bisa jadi bertentangan dengan kepentingan negara atau masyarakat misalnya dalam suasana kekacauan yang ditimbulkan teroris dan ancaman perang. Maka banyak negara melakukan pengendalian yang besar terhadap teater, film, penyiaran dan radio yang bila dibandingkan persentasenya lebih besar dari pada terhadap surat kabar dan buku.

Secara sah atau tidak sah teori ini membenarkan penguasaan media oleh pihak yangberkuasa dalam masyarakat.Berkaitan dengan konsep otoriter yang tidak terlepas dari pemerintah ataupenguasa, di mana selain bahwa media memiliki konsekuensi dan nilai ekonomi danobjek persaingan untuk memperebutkan kontrol dan akses. Maka dalamhubungannya dengan pemerintah atau penguasa, media massa dipandang sebagaialat kekuasaan yang efektif karena kemampuannya untuk melakukan salah satu (atau lebih) dari beberapa hal berikut:

·         Menarik dan mengarahkan perhatian

·         Membujuk pendapat dan anggapan

·         Mempengaruhi pilihan dan sikap

·         Memberikan status dan legitimasi

·         Medefinisikan dan membentuk persepsi realitas

Dalam hubungan media massa dengan masyarakat, konsep otoriter ini mengambildalih bahwa media massa merupakan corong penguasa, pemberi pendapat daninstruksi serta kepuasan jiwani. Media massa bukan saja membentuk hubungan ketergantungan masyarakat terhadap media itu sendiri tetapi juga dalammenciptakan identitas dan kesadaran. Menurut C. W. Mills potensi media massadiarahkan untuk pengendalian non demokratis yang berasal 'dari atas'.

 Teori Marxis menekankan kenyataan bahwa media massa pada hakikatnya merupakan alatkontrol kelas penguasa kapitalis. Sebagai suatu kelas yang mengatur produksi kelas-kelas tersebut juga akhirnya menguasai dan menentukan gagasan pada masyarakatnya, maka gagasan mereka diidentikkan dengan gagasan penguasa.

Orang yang berada dalam kelas ini adalah orang berada yang juga terjun dalam dunia politik. Benturan kepentingan yang dialami media massa menurut McQuail berkaitan dengan operasional fungsi dan tujuan media massa di suatu negara yangditentukan oleh beberapa pihak atau unsur , yang dapat dijelaskan sebagai berikut : Teori otoriter mengenai fungsi dan tujuan masyarakat menerima dalil-dalil yang menyatakan bahwa pertama-tama seseorang hanya dapat mencapai kemampuan secara penuh jika ia menjadi anggota masyarakat. Sebagai individu lingkup kegiatannya benar-benar terbatas, tetapi sebagai anggota masyarakat kemampuannya untk mencapai suatu tujuan dapat ditingkatkan tanpa batas.

Atas dasar asumsi inilah, kelompol lebih penting daripada individu, karena hanya melaluikelompok seseorang dapat mencapai tujuannya. Teori ini telah mengembangkansuatu pemyataan bahwa negara sebagai organisasi kelompok dalam tingkat palingtinggi telah menggantikan individu dalam hubungannya dengan derajat nilai, karenatanpa negara seseorang tak berdaya untuk mengembangkan dirinya sebagai manusia beradab.

Teori hegemoni relevan dengan situasi yang timbul dari pelaksanaan konsepotoritarian ini. Gramsci memakai istilah tersebut untuk menyebut ideologi penguasa,konsep ideologi Gramsci ini menekankan pada bentuk ekspresi, cara penerapan, dan mekanisme yang dijalankan pemerintah atau penguasa untuk mempertahankan dan mengembangkan diri melalui kepatuhan para korbannya (anggota masyarakat-terutama kelas pekerja) sehingga upaya itu akan berhasil memasyarakat. Secara umum konsep otoriter ini sama dengan konsep hegemoni atau dominasi Gramsci yang artinya pemaksaan kerangka pandangan secara langsung terhadap kelas yang lebih lemah melalui penggunaan kekuatan dan keharusan ideologi yang terang-terangan.

Dewasa ini otoritarisme berkembang luas, terutama bila konsep komunis atau pembangunan dipahami sebagai perbedaan dari otoritarisme tradisional. Di negara-negara berkembang wartawan barat seringkali menghadapi berbagai macam kesulitan saat melakukan peliputan, seperti visa masuk ditolak, berita disensor,bahkan penculikan dan dipenjara.

PERS LIBERAL


Teori pers liberal atau juga dikenal dengan teori pers bebas pertama sekalimuncul pada abad ke-17 yang merupakan reaksi atas kontrol penguasa terhadappers. Teori pers liberal adalah merupakan perkembangan dari teori pers sebelumnya,yaitu teori pers otoriter yang jelas-jelas sangat didominasi oleh kekuasaan danpengaruh penguasa melalui berbagai upaya yang sangat mengekang dan menekankeberadaan pers.Selama dua ratus tabun pers Amerika dan Inggris menganut teori liberal ini,bebas dari pengaruh pemerintah dan bertindak sebagai fourth estate (kekuasaankeempat) dalam proses pemerintahan setelah kekuasaan pertama: lembagaeksekutif, kekuasaan kedua: lembaga legislatif, dan kekuasaan ketiga: lembaga yudikatif.

Dalam perkembangan selanjutnya, pada abad ini muncul new authoritarianism di negara-negara komunis sedangkan di negara-negara nonkomunis timbul new libertarianism yang disebut social responsibility theory atau teori tanggung jawab sosial. Di negara-negara yang menganut sistem demokrasi yang memberikan kebebasan kepada rakyat untuk menyatakan pendapatnya (free of expression), sampai sekarang pers tetap dianggap sebagai fourth estate.

Sebagaimana disinggung di atas. Hal ini disebabkan oleh daya persuasinya yang kuat dan pengaruhnya yang besar kepada masyarakat. Kata-kata Napoleon Bonaparte, " Aku lebih takut pada empat surat kabar yang terbit di Paris daripada seratus serdadu dengan senapan bersangkur terhunus", masih berlaku. Pers diperlukan, tetapi juga ditakuti.

Konsep pers yang diterapkan di Barat merupakan penyimpangan demokratis dari kontrol otoritarian tradisional. Perjuangan konstitusional yang panjang di Inggris dan Amerika Serikat lambat-laun telah melahirkan sistem pers yang relatif bebas dari kontrol pemerintah yang sewenang-wenang. Pada kenyataannya, definisi tentang kebebasan pers merupakan hak dari pers untuk melaporkan, mengomentari dan mengkritik pemerintah. lni disebut "hak berbicara politik". Sejarah mencatat, fitnah yang menghasut berarti kritik terhadap pemerintah, hukum, atau pejabat pemerintah. Ketiadaan dalam suatu negara, fitnah yang menghasut sebagai kejahatan dianggap sebagai ujian terhadap kebebasan menyatakan pendapat yang secara pragmatis dibenarkan sebab berbicara yang relevan secara politik merupakan semua pembicaraan yang termasuk dalam kebebasan pers.

Dengan ujian yang dibutuhkan adalah hak berbicara politik. konsep Barat jarang digunakan dalam dunia saat ini, meskipun banyak pemerintah otoritaian memberikan basa-basi. Pers yang benar-benar bebas dan independen hanya ada disebagian kecil negara-negara Barat yang memiliki karakter sebagai berikut:

1.      Suatu sistem hukum yang memberikan perlindungan yang berati bagi kebebasan sipil perorangan (di sini bangsa yang menerapkan common law, yaitu hukum yang menjamin kebebasan individu bagi rakyat untuk menyatakan pendapat, seperti Amerika Serikat dan Inggris) tampaknya menerapkan sistem pers yang lebih baik ketimbang Perancis atau Itali yang menerapkan tradisi civil law;

2.      Tingkat pendapatan rata-rata yang tinggi dalam : income per kapita, pendidikanmelek-huruf;

3.      Pemerintahan dengan sistem multipartai, demokrasi parlementer atau sekurang-kurangnya dengan oposisi politik yang sah;

4.      Modal cukup atau perusahaan swasta diperbolehkan mendukung media komunikasi berita;

5.      Tradisi yang mapan mengenai kemandirian jurnalistik.

Daftar bangsa yang memenuhi kriteria pers Barat ini termasuk America Serikat, Inggris, Kanada, Swedia, Jerman, Belanda, Belgia, Perancis, Austria, Australia, Selandia Baru, Swiss, Norwegia, Denmark, Irlandia, Itali dan Israel disamping negara yang sangat maju dan telah terbaratkan, seperti Jepang.

Para wartawan di banyak negara lain mendukung dan mempraktekkan konsep ini, tetapi karena pergeseran politik, pers mereka bergerak maju-mundurantara kebebasan dan pengendalian (pengawasan). Negara-negara ini termasuk Spanyol, Yunani, India, Kolombia, Turki, Venezuela, Srilangka, dan Portugal.

Pada umumnya , bangsa-bangsa Barat yang memenuhi kriteria tersebut sedikit jumlahnya. Mereka sering melakukan pengumpulan berita dunia dari bangsa-bangsa lain dan korespondennya bahkan sering bersitegang dengan rezimotoritarian. Karena konsep Barat berpegang kuat bahwa pemerintah--di mana pun pemerintah itu-- tidak boleh mengganggu proses pengumpulan dan penyebaran berita. Pers, menurut teori, harus mandiri dari kekuasaan dan harus berada di luar pemerintah sebagai kekuatan negara yang keempat yang dilindungi oleh hukum dan adat istiadat dari kesewenang-wenangan campur tangan pemerintah. Tidak banyak wartawan di dunia bekerja dalam kondisi semacam ini.

Pemikiran jurnalistik Barat merupakan hasil sampingan dari Zaman Pencerahan (abad pertengahan) dan tradisi politik liberal seperti tercermin pada tulisan John Milton, John Locke, Thomas Jefferson, dan John Stuart Mill. Utamanya, harus ada keragaman pandangan dan sumber berita di "bursa pemikiran" agar khalayak dapat memilih apa yang ingin dibaca dan dipercaya. Tak seorang pun dan kekuasaan manapun, spritual atau temporal, memiliki monopoli kebenaran. Judge Learned Hand mengatakan: Bahwa industri surat kabar merupakan satu dari seluruh kepentingan umum yang paling vital; penyebar dan berita dari banyak sumber yang berbeda-beda denganbanyak tahap adalah mungkin. Ini menunjukan bahwa kesimpulan yang benar agaknya mungkin diperoleh lewat banyaknya lidah daripada melalui bentukseleksi otoritaian. Bagi banyak orang, ini merupakan pendapat yang selalu konyol; tapi kita telah mempertaruhkannya dengan segala milik kita.

Yang mendasai proses untuk "membenarkan diri-sendiri" (self-righting) adalah keyakinan bahwa warga negara akan menentukan pilihan yang benar terhadap apa yang harus dipercayainya jika cukup suara didengar dan pemerintah berlepas tangan. Dalam konteks intenasional, ini berarti harus ada arus informasi bebas yang tidak dihalangi oleh campur tangan negara manapun. Pemerintah dimanapun tidak boleh merintani pengumpulan berita yang sah.lni tidak berati bahwa media berita Barat tidak memiliki kekurangan yang serius.

Kebebasan politik tidak menghalangi kontrol ekonomi dan campur tangan terhadap praktek jumalistik. Suatu sistem media yang dimiliki swasta, dalam derajat yang berbeda, akan mencerminkan kepentingan dan kepedulian pemiliknya. Supaya tetap bebas dari control luar, termasuk pemerintah, media harus kuat secara financial dan menguntungkan. Tapi keunggulan dan keuntungannya tidak memiliki arah yang sama, meskipun beberapa media berita yang terbaik sangat menguntungkan pemiliknya.

Bagaimanapun, mencari uang merupakan tujuan utama jumalistik. Dan bagi mereka, kemandirian serta pelayanan publik kurang memiliki makna (atau sedikit diberi perhatian). Lagi pula, keanekaragaman di tingkat nasional dan intemasional tampak sedang mengalami kemerosotan. Meningkatnya monopoli media dan pemusatan pemilikan telah mengurangi jumlah suara bebas yang terdengar di perdebatan terbuka. Semakin banyak surat kabar, majalah, dan stasiun siaran yang menjadi bagian dari konglomerasi media yang sangat besar. Di beberapa negara demokrasi seperti Norwegia dan Swedia, pemerintah memelihara keanekaragaman pandangan politik dengan memberikan bantuan kepada surat kabar dari berbagai partai politik,suatu praktek yang bukan tanpa bahaya potensial terhadap kebebasan pers.

Beberapa perusahaan dalam konsep Barat jatuh di bawah rubrik tanggung jawab sosial (social responsibility). lni berarti bahwa media mempunyai kewajiban yang jelas dengan memberikan pelayanan publik termasuk di dalamnya ukuran-ukuran profesional bagi wartawan serta pelaporan yang jujur dan objektif. Media juga berkewajiban menjamin bahwa semua suara dan pendapat masyarakat didengar. Lagi pula, pemerintah diberi peran terbatas dalam mencampuri urusan operasional media dan dalam mengatur peraturan jika kepentingan umum tidak akan dilayani secukupnya.

Peraturan pemerintah dalam siaran di negara-negara Barat menunjukkan contoh yang baik mengenai kedudukan tanggung jawab sosial. Pada umumnya, negara-negara di dunia, khususnya di negara-negara barat yang memiliki sistem pemerintahan liberal, teori pers seperti ini sudah merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam kehidupan bernegara masyarakatnya. Teori pers liberal ini pada masa sekarang sudah dipandang secara luas sebagai prinsip pengabsahan yang utama bagi media cetak dalam demokrasi liberal.

Pada dasarnya teori pers liberal adalah merupakan teori yang sederhana dan merupakan teori yang berisi atau menimbulkan ketidak konsistenan mendasar. Dalam bentuk yang paling dasar, teori ini hanya menyatakan bahwa seseorang seyogyanya diberi dan memiliki kebebasan untuk mengungkapkan pendapat, pikiran, gagasan,ataupun ide-idenya. Hal ini disebabkan kerena teori pers ini menganggap kebebasan untuk menyatakan pendapat, pikiran, gagasan, ataupun ide mutlak merupakan hakasasi manusia. Setiap orang dianggap memiliki hak untuk berpendapat secara bebas dan berhak pula untuk mengungkapkannya, selain itu setiap orang juga memiliki hak untuk bergabung dan berserikat dengan yang lain. Dengan demikian, prinsip dan nilai-nilai yang mendasarinya identik dengan prinsip dan nilai-nilai yang dianut olehnegara demokrasi liberal, yaitu adanya keyakinan akan keunggulan individu, akal sehat, kebenaran dan kemajuan, dan pada akhimya adanya kedaulatan kehendak rakyat.

Kesulitan dan kemungkinan ketidak konsistenannya hanya timbul pada saat menguraikan kebebasan pers sebagai hak fundamental, menerapkan batasan aplikasinya dan merinci bentuk lembaga yang paling tepat untuk mengungkapkan pendapat dan mencari perlindungan dalam masyarakat tertentu.

Teori ini pernah dipandang sebagai ungkapan penentangan terhadap kolonialisme (pertama sekali di koloni Amerika); sebagai wadah menyalurkan perbedaan pendapat yang berguna; sebagai argumentasi bagi kebebasan beragama; sebagai sarana menentang kesewenangan; sebagai sarana menegakan kebenaran dan pada intinya sebagai suatu hal yang menjadi keharusan praktis. Teori pers bebas dipandang sebagai komponen yang penting dari masyarakat yang bebas dan rasional. Perkiraan yang paling mendekati kebenaran akan timbul dari pengungkapan sudut pandang lain dan kemajuan bagi masyarakat akan bergantung pada pilihan pemecahan yang "benar" daripada yang "salah".

Dalam teori politik tentang pencerahan (enlightement), diasumsikan bahwa dalam setiap kasus, terdapat titik temu antara kemaslahatan masyarakat, kesejahteraan umum, dan kemaslahatan perseorangan dalam masyarakat itu, yang hanya dapat mereka persepsikan dan ungkapkan. Kelebihan pers liberal dalam kaitannya dengan hal tersebut yaitu bahwa dengan pers bebas, dimungkinkan adanya pengungkapan dan memungkinkan masyarakat memenuhi aspirasinya.

Kebenaran, kesejahteraan, dan kebebebasan harus berjalan seiring danpengendalian pers yang ketat dan berlebihan pada akhirnya hanya akan menimbulkan ketidaknalaran dan penekanan yang juga akan berdampak pada masyarakat. Pers yang terkekang tidak akan mungkin dapat menjadi sarana informasi dan aspirasi masyarakat yang sejati. Pers yang terbelenggu tidak akan pernah bisa menjadi sarana pembelajaran dan pendewasaan masyarakat dalam menghadapi realitas kehidupan yang sebenarnya.

Meskipun dalam teorinya, pers liberal merupakan bentuk pers yang palingideal, tetapi dalam aplikasinya kebebasan pers masih jauh dari apa yang diharapkan.Persoalan tentang apakah hal itu merupakan tujuan pers itu sendiri, sebagai saranauntuk mencapai tujuan, atau merupakan hak mutlak belum benar-benarterwujudkan. Ada yang menyatakan bahwa apabila kebebasan pers itu dipasung sampai tingkat yang mengancam moral yang baik dan kewenangan negara, makahal itu harus dikekang.

Menurut de Sola Pool (1973), "Tidak ada negara yang akan benar-benar mentolerir kebebasan pers yang mengakibatkan perpecahan negara dan membuka pintu banjir kritik terhadap pemerintah yang dipilih secara bebas yang memimpin negara itu. "Di hampir semua masyarakat yang telah mengakui kebebasan pers, pemecahannya adalah dengan membebaskan pers dari sensor pendahuluan, tetapi pers tidak bebas dari adanya peraturan perundang-undangan yang mengatur setiap konsekuensi aktivitasnya yang melanggar hak orang lain dan tuntutan yang sah dari masyarakat. Perlindungan orang-orang secara individu, kelompok, minoritas (atasreputasi, harta benda, kemerdekaan pribadi, perkembangan moral), serta keamanan dan bahkan kehormatan negara seringkali lebih diutamakan dari pada nilai mutlak kebebasan untuk mempublikasikannya.

Banyak kesukaran yang juga telah timbul dari bentuk lembaga dimana kebebasan pers telah mewujud. Dalam banyak keadaan, kebebasan pers telahmenyatu dengan hak pemilikan dan telah digunakan untuk mewujudkan hak memiliki dan menggunakan sarana publikasi tanpa kekangan atau campur tangan pemerintah. Pembenaran utama bagi pandangan ini, yaitu bahwa disamping adanya asumsi bahwa kebebasan pada umumnya berarti kebebasan dari pemerintah, adalah melalui pengalihan analogi "pasar gagasan bebas" yang diungkapkan di atas pasarbebas yang sesungguhnya dimana komunikasi merupakan hal yang baik untuk diproduksi dan dijual.

Oleh karena itu, kebebasan mempublikasikan barns dipandang sebagai hak milik yang mengamankan keragaman sebanyak yang ada dan diungkapkan oleh konsumen bebas yang mengajukan permintaan mereka ke dalam pasar. Dengan demikian, kebebasan pers disamakan dengan pemilikan media secara privat danbebas dari campur tangan dalam pasar. Tidak hanya mengandung monopoli dalampers dan media lain yang membuat proposisi ini sangat meragukan tetapi kadarkepentingan finansial eksternal dalam pers bagi banyak orang tampaknya jugamerupakan sumber kendala yang sama potensinya seperti setiap tindakanpemerintah atas kemerdekaan mengungkapkan pendapat. Tambahan pula, dalam suasana modern, gagasan tentang pernilikan pribadi yang menjamin hak seseorang untuk menerbitkan tampaknya mustahil.

Masalah dan ketidak konsistenan tertentu lainnya juga dapat dikemukakan. Pertama, tidak jelas sejauh mana teori itu dapat dipandang berlaku bagi siaran publik, yang sekarang bertanggung jawab bagi sebagian besar aktivitas media dalam masyarakat yang masih tetap terkait dengan idaman kemerdekaan perorangan, dan sesungguhnya, sebarapa jauh hal itu berlaku bagi lingkup aktivitas komunikasi yang penting lainnya dimana kebebesan itu mungkin sama pentingnya seperti dalam pendidikan, kebudayaan, dan kesenian. Kedua, teori ini tampaknya dirancang untuk melindungi opini dan keyakinan serta kurang bemilai "informasi". Ketiga, teori ini telah terlalu sering dirumuskan untuk kepentingan pemilik media dan tidak dapat memberikan kesempatan yang sama untuk mengungkapkan pendapat tentang hak para editor dan wartawan yang dapat dipersoalkan dalam pers, atau hak audiens, atau pewaris lain yang mungkin, atau korban dari pengungkapan bebas. Keempat,teori ini mengharamkan pengendalian wajib tetapi tidak memberikan cara yang jelas untuk membatasi berbagai tekanan yang ditujukan pada media, khususnya, namun bukan satu-satunya, yang timbul dari lingkungan pasar.  

Untuk jelasnya, maka gagasan tentang teori pers bebas dapat diungkapkan dalam beberapa prinsip berikut:

·         Publikasi seyogyanya bebas dari setiap penyensoran pendahuluan oleh pihakketiga.

·         Tindakan penerbitan dan pendistribusian seyogyanya terbuka bagi setiaporang atau kelompok tanpa memerlukan izin atau lisensi.

·         Kecaman terhadap pemerintah, pejabat, atau partai politik (yang berbedadari kecaman terhadap orang-orang secara pribadi atau pengkhianatan dangangguan keamanan) seyogyanya tidak dapat dipidana, bahkan setelahterjadinya peristiwa itu.

·         Seyogyanya tidak ada kewajiban mempublikasikan semua halo

·         Publikasi "kesalahan" dilindungi sama halnya dengan publikasi kebenaran,dalam hal-hal yang berkaitan dengan opini dan keyakinan.

·         Seyogyanya tidak ada batasan hukum yang diberlakukan terhadap upayapengumpulan informasi untuk kepentingan publikasi.

·         Seyogyanya tidak ada batasan yang diberlakukan dalam impor dan eksporatau penerimaan dan pengiriman pesan di dalam negeri maupun antarnegara.

·         Wartawan seyogyanya mampu menuntut otonomi profesional yang sangattinggi di dalam organisasi mereka.

Walaupun pada dasamya kebebasan pers merupakan idaman, bukan hanyabagi kalangan pers itu sendiri, tetapi juga bagi masyarakat karena masyarakatlah yang menjadi konsumen informasi melalu pemberitaan pers tetapi kebebasan pers dalam prakteknya tidaklah benar-benar bebas dari segala bentuk kepentingan. Pers yang bebas bukan berarti pers yang benar-benar independen dan tidak memihak.Karena bagaimanapun juga, pers itu memiliki kepentingan tertentu. Jikapun lepas dari pemerintah, pers bebas tetap bersandar pada kepentingan para pemilik modal, dalam hal ini pemilik media yang ditumpangi oleh para pelaku pers. Terkadang halinilah yang menjadi dilema bagi kalangan pelaku pers, dimana di satu pihak iaberupaya untuk dapat memberikan dan menyajikan informasi yang benar-benar"netral" , berimbang dan sesuai dengan fakta, tetapi dipihak lainnya ia harus dapat memberikan keuntungan, baik materil maupun non materil kepada para pemilik modal yang menaunginya.

Dalam negara yang menganut sistem politik liberal dan menganut asas-asas demokrasi, kehidupan persnya sangat kental dengan adanya persaingan yang bebas. Maksudnya yaitu, setiap usaha penerbitan pers secara alami berusaha untuk menarik sebesar-besamya khayalak pembaca melalui pemberitaannya masing-masing. Adanya persaingan ini, membuat para pelaku pers berlomba-lomba mencari,menulis, dan menyajikan informasi-informasi yang "besar" dan boombastis untukmenarik perhatian khalayak. Hal seperti ini merupakan hal yang lumrah, karena bagaimanapun juga pers tidak hanya melulu mengatasnamakan idealisme semata, namun dibalik semuanya itu, terdapat politik bisnis, yang tidak dapat dikesampingkan begitu saja.

Dengan adanya persaingan ini, maka pemberitaan pers menjadi beragam. Satu hal yang positif dari keadaan seperti ini, yaitu bahwa masyarakat dapat menjadi lebih dewasa, dan dapat mengarahkan masyarakat untuk menjadi rasional dan dapat berpikir logis. Hal ini disebabkan karena dengan adanya informasi yang variatif, maka masyarakat akan dapat memilah-milih sendiri informasi yang dipercayainya benar sesuai dengan rasionalitasnya masing-masing dan hasil pengamatannya di lapangan.

 

Kemajuan teknologi yang pesat juga membawa pengaruh terhadap posisi dankeberadaan pers. Teknologi yang canggih membuat masyarakat dari berbagai belahan dunia dapat dengan relatif mudah mengakses dan mendapatkan informasi-informasi dari negara lain. Televisi, radio, koran, majalah, dan juga bahkan internet mampu memenuhi kebutuhan masyarakat luas akan informasi dalam waktu yangrelatif singkat. Fenomena seperti ini menjadikan pers semakin bersaing dalam menyajikan pemberitaan.

Kesimpulan

Teori liberal berkembang di Inggris dan Amerika Serikat setelah tahun 1688. Teori pers liberal merupakan penerapan filsafat umum rasionalisme dan hak-hak ilmiah dalam bidang pers. Tugas pers yang terpenting di sini memberikan informasi, menghibur, menjual, membantu menemukan yang terbaik, dan melaksanakan kontrol sosial serta pemerintahan. Pemanfaatan pers secara terbuka, maksudnya siapapun berhak untuk menggunakannya. Pemberitaan yang dilarang berupa pemberitaan yang bersifat fitnah, cabul, tidak senonoh, dan penghianatan saatperang.

Perusahaan pers biasanya dimiliki oleh kalangan privat (swasta). Mekanisme aktivitas pers difokuskan pada tindakan memeriksa/mengontrol pemerintah dan mempertemukan kepentingan-kepentingan masyarakat. Libertarian theory akan berkembang menjadi responsibility theory. Dalam teoriliberal, pers bukan alat pemerintah melainkan sebagai alat untuk menyajikan fakta, alasan dan pendapat rakyat untuk mengawasi pemerintah (social control terhadappemerintah) sebagai berikut:

1.      Memberi penerangan kepada masyarakat

2.      Melayani kebutuhan pendidikan politik masyarakat

3.      Melayani kebutuhan bisnis

4.      Mencari keuntungan

5.      Melindungi hak warga masyarakat

6.      Memberi hiburan kepada masyarakat.

PERS KOMUNIS


Tamatnya pemerintahan komunis di USSR yang diikuti dengan pecahnya Uni Sovyet telah mendatangkan kehancuran dan penyusunan kembali hampir semua elemen dasar yang ada di negara tersbut. Sebagian dari proses itu disumbangkan oleh mass media, yang membawa kejatuhan dari sistem pers dan penyiaran yang lama. Glasnot, yang aslinya merupakan kebijakan resmi Partai Komunis, menurut konsepnya, seharusnya diarahkan untuk membuka diskusi kritis mengenai masa lalu negeri tersebut dan mengenai cara-cara untuk memperbaiki sosialisme di USSR, telah mematahkan belenggu sensor dan berkembang melewati semua batasan-batasan yang ada dan mengarah kepada kemerdekaan berbicara dan kemerdekaanpers.

Perestroika, bertujuan untuk menyusun kembali ekonomi dan masyarakat Soviet yang berlangsung antara 1985 dan 1991, telah menciptakan lingkungan-lingkungan material yang baru menciptakan fondasi untuk perkembangan pers dan penyiaran. Tahun 1992 sampai 1994 merupakan masa yang paling tak stabil bagiRusia, yang akan membuat setiap penelitian terancam menjadi basi saat dipublikasikan

Sampai akhir-akhir ini, media masa Soviet tidak mempunyai dasar hukum. Aktivitas mereka di atur oleh keputusan yang dibuat oleh badan-badan dan fungsinalis Partai Komunis. Surat keputusan tersebut mengenalkan "cara-cara sementara dan luar biasa untuk menghentikan aliran kotoran dan fitnah" dan tak pernah dicabut selama tujuh dasarwarsa pemerintahan Soviet. "Kebebasan penuh dalam batasan tanggung jawab di depan pengadilan" yang dijanjikan dalam teksnya, yang akan direalisir oleh "perundangan yang luas dan progresif" muncul melalui Undang-undang Pers dan Media lain di USSR (1 Agustus 1990) dan Undang-undangFederasi Rusia mengenai Media Masa (8 Februari, 1992).

Kebebasan informasi masa dalam hukum Rusia bersifat tak terbatas (kecuali dengan legilasi) untuk mencari, mendapatkan dan membuat serta menyebarkan informasi; kebebasan untuk mendirikan outlet media masa dan memilikinya, menggunakannya serta mengaturnya; dan kebebasan untuk mempersiapkan, memperoleh dan mengoperasikan peralatan dan perlengkapan teknis, bahan-bahan mentah serta materi yang diperuntukkan bagi produksi dan distribusi produk-produkm media masa.

Hukum Rusia menekankan ketidak layakan penyensoran, yang aslinya dikemukakan dalam Pasal 1 Undang-undang USSR mengenai Pers dan Media Masa yang Lain (Undang-undang Pers USSR). Untuk memonitor pelaksanaan statuta pers, diciptakan suatu badan khusus, Inspektorat Negara untuk Melindungi Kebebasan Pers dan Informasi Masa pada bulan September 1991 dengan mandat untuk mengusut pemerintah, pendiri, redaksi penerbitan dan stasiun radio serta TV apabila melakukan pelanggaran hukum. Badan ini dapat mengajukan tuntutan ke pengadilan untuk menutup organisasi media.

Undang-undang Dasar Rusia yang dipakai dalam referendum nasional tanggal 12Desember 1993 merupakan hukum paling mutakhir dan mungkin paling pentingyang menjamin kebebasan pers dan kebebasan berbicara. Pelarangan penyensoran disebutkan dalam undang-undang tersebut (Pasal 29) bahwa "setiap orang berhak untuk dengan bebas mencari, mendapatkan, memancarkan, membuat danmenyebarkan informasi dengan cara apapun yang tidak bertentangan denganhukum".

RUNTUHNYA PERS PUSAT

Sampai sekitar 1990, koran-koran di USSR mempunyai struktur piramida yang stabil. Di puncaknya bertengger "pers pusat": berlokasi di Moskow, koran atau majalah yang mempunyai distribusi nasional yang menampilkan kebijakan resmi Partai Komunis, pemerintah, dan berbagai badan pusat, baik milik negara atau milik masyarakat. Meskipun jumlah perusahaan pers pusat ini hanya 3% dari jumlah perusahaan koran, akan tetapi sirkulasinya sebesar 73% dati keseluruhan sirkulasi media masa di Uni Sovyet. Meskipun tidak ada hubungan antara publikasi-publikasi lokal dengan publikasi-publikasi pusat, akan tetapi jalur komando antara badan-badan yang mengaturnya seakan-akan menggambarkan hubungan seperti antara tuan dan budaknya.

Meskipun puncak piramida mempunyai jumlah koran dan majalah yang sedikit, penerbitan nasional ini merupakan penerbitan yang paling populer dipedalaman. Koran-koran ini isinya hampir sama, seringkali pula dengan opini dan editorial yang sama yang bukan cuma menjelaskan pandangan partai mengenai isu-isu politik tertentu akan tetapi juga bertindak, dalam tradisi Leninis yang terbaik, sebagai "kolektif propagandis, kolektif agitator dan kolektif organisatoris".

Majalah mempunyai kebebasan sebagai "press kelas dua", karenanya merekadapat membuat variasi gaya dan rasio propaganda mereka dalam bentuk cerita-cerita, hiburan. Dari tahun 1986 sampai 1988 Mikhael Gorbachev menanamkan orang-orang yang secara politis setia kepadanya sebagai editor-editor disurat kabar besar, sehingga peran pers pusat menjadi penting untuk meningkatkan reformasinya. Sebagaimana yang bisa dibaca di mana-mana penerbitan nasional dapat dipakai untuk berhubungan dengan masyarakat tanpa harus melewatihambatan oposisi. Kolom surat-surat pada redaksi mereka menjadi jalan yang siapuntuk menampung partisipasi mereka dalam perestroika. Prestise dan kebebasanyang diberikan oleh Kremlin pada para jurnalis membuat mereka ini menjadi sekutualami.

Tiba-tiba datang kejadian yang tidak diharapkan oleh para birokrat. Undang-undang mengenai Pers dan Media Masa lain dari USSR mengharuskan semua penerbitan di daftarkan secara resmi dengan badan-badan negara. Pada dasarnya, prosedur ini memberi kesempatan bagi star redaksi untuk mencari dan mendaftarkan"pendiri" yang mungkin berbeda dari majikan lama mereka, atau bahkan mungkin mendaftarkan koran-koran itu atas nama mereka sendiri. Tindakan ini menciptakanancaman nyata pertama kali atas piramida tersebut dengan cara memisahkan outlet-outlet yang baru bebas dari garis komando yang lama. Pada saat yang bersamaan, para redaktur yang berani dan orang-orang kaya baru mulai mengisi kekosongan-kekosongan ini.

Letupan kedua terjadi pada tahun 1991 dengan adanya larangan terhadap Partai Komunis dan nasionalisasi yang dilakukan terhadap hak milik mereka. Hal ini melahirkan pendaftaran kembali ribuan penerbitan. Beberapa diantaranya milik partai komunis terutama tingkat propinsi didatarkan dengan namaberbeda (kata-kata seperti " kommunist " , " pravda " dan "sovetsky" sudah menjadi usang); disamping itu beberapa yang lainnya memakai susunan redaksi yangberbeda, dan yang pasti mereka semua membebaskan diri dari penguasa mereka karena partai yang menguasainya tidak lagi berkuasa.

Dengan dicabutnya tonggak pemersatu ini, keseluruhan sistem pers pusat lokal menjadi ambruk karena mekanisme partai yang mendukungnya lenyap. Dalam beberapa hal negara mencoba untuk meniru sistem lama dengan menciptakan struktur yang serupa dengan struktur pemerintah dan pers di Moskow dan direpublik-republik tetapi dengan atmosfir otonomi yang lebih besar dari pemerintahan lokal dan pengurangan jepitan politik (dan, sampai batas tertentu, keinginan politis) untuk menjalankan tekanan tersebut tetapi hal itu tidak membawa hasil.

Tahun 1989 dan 1990 merupakan puncak popularitas bagi media masa pada tahun-tahun setelah Perestroika dimulai. Saat itu merupakan saat masyarakat mempunyai harapan-harapan politik tertinggi: saat Kongres Pembantu-pembantu Rakyat diamati langsung di televisi dan didengarkan di radio dengan perhatian yang begitu tinggi sehingga penurunan tajam angka-angka produksi industri dicatat selama hari-hari tersebut. Dapat dikatakan itulah masa "keracunan" dengan Glasnost.

Tiga tahun berikutnya terlihat pertumbuhan ketidak percayaan media terhadap kemunduran apatisme politik umum dan krisis ekonomi yang serius. Faktor terakhir ini menyebabkan keluarga tradisional untuk mengurangi langganan penerbitan mereka dari lima atau enam menjadi hanya satu penerbitansaja. Media tidak lagi dipandang oleh masyarakat sebagai sumber bantuan dan harapan atau sarana untuk mengutarakan pendapat mereka. Pada tahun 1988 mulai ada kecenderungan untuk lebih menyukai pers lokal dibandingkan dengan perspusat. Pertama kali, hal itu terlihat jelas di republik-repubik Persatuan yangpemikiran rakyatnya didorninasi oleh faham "nasionalisme". Dengan bertambahnya kebebasan yang diperoleh dari Moskow, maka terciptalah kebutuhan untuk kisah-kisah nasionalisme yang memberikan jalan bagi ketertarikan pada berita-berita lokal.

Riset menyatakan bahwa perhatian terhadap masalah-masalah dunia atau politik nasional telah menurun dengan tajam pada dua tahun terakhir ini. Kebanyakan orang Rusia pertama dan terutama ingin membaca hal-hal yang berkenaan dengan biaya hidup dan kriminalitas dengan kata lain, persis dengan apayang disajikan oleh pers lokal. Salah satu dari topik-topik yang kurang popular adalah masalah-masalah kesukuan, kehidupan di republik-republik lain bekas USSRdan politik luar negeri yang kesemuanya sangat menonjol di penerbitan nasional.

KEPEMILIKAN PERS

Sebagaimana yang diutarakan di atas, pers di USSR dimiliki oleh Soviets, aparat negara, dan organisasi umum (semuanya dikendalikan oleh Partai Komunis), atau langsung oleh partai, atau oleh kombinasi dari ketiganya. Dengan tumbangnya penguasa komunis, Soviet dan lembaga-lembaga negara menjadi pemilik utama, terutama pada tingkatan lokal. Pada tahun 1993 ada sebanyak 200 koran partai, 12 diantaranya diterbitkandi Moskow dan 18 di St. Petersburg. Kebanyakan partai-partai tersebut berhasil menerbitkan hanya beberapa edisi dari koran atau buletin mereka sebelum kemudian rontok.

Evaluasi kasar dari struktur kepermilikan pers Rusia menunjukkan bahwa 29%koran nasional dimiliki pemerintah federal, 30% menjadi milik organisasi publik dan partai, dan 41 % milik swasta; 21 % koran regional yang dimiliki pemerintah federal sementara 22% dimiliki swasta; sedangkan pers tingkat kota, 85% dimiliki oleh pemerintah kota sedang sisanya dimiliki oleh swasta atau umum. Dari semua Koran yang tercatat di Rusia pada tahun 1993, 57,1% merupakan milik pribadi, 23,1%milik negara (5.8% milik pemerintah kota), dan 19,8% milik organisasi umum danpartai politik (Bekker & Gurevich, 1993).

Masalah subsidi menampilkan aspek yang paling pelik dan rawan dalam hubungan antara negara dan media masa di Rusia. Di satu sisi, ketergantungan finansial dari pers terhadap negara memberikan dasar yang penting untuk mempertanyakan independensi media, obyektifitas dan keseimbangan pelaporan. Disisi lain, beberapa pihak mengatakan bahwa pers dan penyiaran, apabila diperhatikan, bukan hanya berupa alat politis atau usaha komersial saja akan tetapi juga merupakan lembaga yang memberikan keuntungan kultural dan pendidikan bagi masyarakat yang harus menikmati perlindungan dari negara. Idealnya prioritas bantuan diberikan pada surat kabar-surat kabar yang ditujukan untuk anak-anak dan pemuda, orang cacat, kelompok minoritas dan majalah-majalah sastra dan kebudayaan. Bersamaan dengan itu, berdasarkan keputusan-keputusan terpisah dari pemerintah, donasi yang besar diberikan kepada koran-koran dengan sirkulasi besar yang bekerja untuk apa yang dinamakan "ruang informasi bersama" di bekas UniSovyet, seperti Trud dan Komsomolskaya pravda.

Angka yang pasti dari subsidi tersebut tidaklah tetap. Salah satu alasannya adalah bahwa anggaran tersebut terus menerus direvisi dengan mempertimbangkan inflasi saat itu yang mencapai hampir 1 % setiap hari. Lebih-Iebih lagi, pejabat pemerintah memberikan angka yang berbeda-beda satu sama lain. Disamping itu, penerbit-penerbit penerima subsidi lebih suka untuk menekan angka-angka atau mengatakan bahwa mereka tidak dapat memperoleh jumlah yang dialokasikan sementara itu pesaing-pesaing mereka cenderung untuk menggelembungkannya.

Secara hypotetis dapat dikemukakan bahwa ketergantungan media pada subsidi dapat berbalik akibatnya pada pemerintah sendiri apabila kebutuhan pers terhadap injeksi anggaran tidak dapat dipenuhi. Kemudian "kekuatan keempat ini"akan mendukungkekuatan oposisi dan berusaha untuk menegakkan pemerintahan yang lebih memperhatikan kebutuhan mereka. Distribusi nasional pers di Rusia adalah monopoli. Distribusi dikuasai olehRospechat (Pers-Rusia), badan semi independen di bawah Kementerian Komunikasi.

Argumentasi yang pantas di sini menunjukkan bahwa Rospechat, dilihat oleh badan-badan negara sebagai badan usaha kebanyakan, yang membayar semua pelayanannya dengan tarif yang sama, misalnya, dengan restoran atau hotel untukturis asing. Pengiriman sebuah koran, yang dibayar oleh seorang pelanggan, jarang sekali dapat dikover oleh badan tersebut. Kerugian seperti ini biasanya ditutup oleh keuntungan dari pelayanan telekomunikasi, tetapi saat itu ditutup dengan surat keputusan presiden, sejak 1993 pelayanan-pelayanan ini dibebaskan dari kantor Pos. Sampai awal 1990 an sistem kantor berita di USSR terdiri atas TASS (Telegraph Agency of the Soviet Union) dengan 14 anak perusahaannya di republic Persatuan dan Novusti Press Agency. Saat ini, Rusia saja mempunyai 400 kantor berita. Dengan runtuhnya USSR, TASS berubah menjadi the Information TelegraphAgency of Russia, IT AR- TASS, memakai singkatan TASS sebagai trademark yang sudah dikenal saja.

Selama berpuluh tahun setelah pendiriannya di tahun 1925. TASS berada dibawah pengawasan Dewan Menteri USSR, kemudian dibawahPresiden USSR, pada tahun 1991 menunjuk bekas Sekretaris Persnya VitalyIgnatenko sebagai Direktur Jendralnya. Pada saat keemasannya di pertengahan1980 an, TASS mempunyai biro-biro dan koresponden di 110 negara aging (saat inihanya tinggal 75 negara), menjadi sumber informasi utama bagi rakyat Sovyet tetang kehidupan di luar negeri dan peristiwa-peristiwa di dalam negeri; saat itu merupakan salah satu kantor berita lima besar dunia.

Kantor berita ini masih merupakan badan setengah resmi yang dipakai oleh pemerintah Rusia untuk membuat pandangan-pandangannya diketahui secara luasoleh publik dunia, disamping untuk mengedarkan dokumen-dokumen resmi. Yang akan kita saksikan dimasa yang akan datang adalah kelahiran dan penguatan dari kantor-kantor berita tingkat lokal, yang dilihat oleh parlemen dan pemerintah bekas republik-republik otonomi sebagai bagian yang paling penting dari kedaulatan mereka yang sedang tumbuh.

Di tahun-tahun akhir 1980 an pers Rusia memperoleh tingkat kebebasan yang tak pernah dicapai sebelurnnya selama hampir tiga abad; beberapa analis bahkan menyebut tahun-tahun perestroika sebagai "zaman keemasan" (Tolz, 1992). Akan tetapi, sejak 1990, keadaan dari media cetak memburuk disebabkan olehtekanan ekonomi dan ketergantungannya yang bertambah parah kepada subsidi pemerintah. Sampai saat ini hanya beberapa penerbitan yang telah mencapai kemerdekaan finansial dari pemerintah atau kelompok politik tertentu yang melihat mereka (dalam tradisi lama negara itu) sebagai corong ke masyarakat dan sebagai alat untuk penguasaan politik. Tugas untuk menyusun dan memperkuat masyarakat demokratis, merupakan persyaratan bagi kebebasan mereka yang sebenarnya dan abadi, memerlukan tanggung jawab dan mempunyai efek dibandingkan penggulingan mesin komunis.

Penutup

Kesimpulan yang bisa ditarik dari pembahasan di atas, sistem pers soviet menganut beberapa prinsip sebagai berikut:

1.      Media Massa harus melayani kepentingan dan, dan berada dalam kontrol kelaspekerja.

2.      Kalangan swasta tidak dibenarkan memiliki media.

3.      Media harus selalu melakukan tugas fungsi positif bagi masyarakat dengan caramelakukan upaya sosialisasi norma-norma yang diinginkan, pendidikan,penerangan, motivasi dan mobilisasi.

4.      Dalam menjalankan seluruh tugasnya kepada masyarakat, media harus tanggapterhadap kebutuhan dan keinginan khalayaknya.

5.      Masyarakat berhak melakukan sensor dan tindakan hukum lainnya dalam upayamencegah atau memberikan hukuman setelah terjadinya peristiwa publikasi yangbersifat anti-sosial.

6.      Media harus memberikan pemikiran dan pandangan yang lengkap dan objektif mengenai masyarakat dan duma yang sesuai dengan ajaran Marxisme-Leninisme.

7.      Wartawan adalah kalangan profesional yang bertanggung jawab yang memilikitujuan dan cita-cita yang selaras dengan kepentingan utama masyarakat.

8.      Media harus mendukung gerakan-gerakan progresif di dalam dan di luar negeri

TEORI TANGGUNG JAWAB SOSIAL (SOCIAL RESPONSIBILITY THEORY)


Pers sebagai suatu sistem sosial selalu tergantung dan berkaitan erat dengan masyarakat dimana ia beroperasi. Pers itu sendiri lahir untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan informasi sehingga ia berkedudukan sebagai lembaga masyarakat (institusi sosial). Sementara itu segala aktivitas pers tergantung pada falsafah yang dianut oleh masyarakat dimana pers itu berada. Lyod Sommerlad menyatakan, sebagai institusisosial, pers mempunyai fungsi dan sifat yang berbeda tergantung pada sistempolitik, ekonomi dan struktur sosial dari negara dimana pers itu berada. Hal senada disampaikan John C. Merril, "A nation's press or media closely tied to the politicalsystem." (John C. Merril, "A Conceptual Overview of World Journalism" dalam International Intercultural Communication, Heinz Dietrich Fischer & John C. Merril,Hasting House Publisher, New York)Bagi Siebert, Peterson dan Schramm, buku Four Theories of the Press mencoba memahami mengapa negara-negara yang berbeda memiliki pola hubungan yang berbeda pacta medianya. Pers selalu mengambil bentuk dari struktur sosial dan politik dimana pers itu beroperasi atau dengan kata lain, mempelajari suatu masyarakat dan sistem politiknya kita akan belajar memahami mengapa persnya menjadi sedemikian rupa.

Jika ditelaah lebih jauh, tambah mereka dalam bagian pengantar buku tersebut, dunia barat sesungguhnya hanya mengenal dua dari teori pers, model autoritarian dan libertarian. Soviet Communist model, menurut mereka, merupakan variasi dari autoritarian sementara social responsibility model adalah perkembangan/peningkatan dari libertarian. Dasar pemikiran utama dari teori ini ialah bahwa, kebebasan dan kewajibanber langsung secara beriringan dan pers yang menikmati kedudukan dalam pemerintahan yang demokratis berkewajiban untuk bertanggung jawab kepada masyarakat dalam melaksanakan fungsinya.

Pada hakikatnya fungsi pers dalam teori tanggung jawab sosial ini tidak berbeda jauh dengan yang terdapat pada teori libertarian namun pada teori yang disebut pertama terefleksi semacam ketidakpuasan terhadap interpretasi fungsi-fungsi tersebut beserta pelaksanaannya oleh pemilik dan pelaku pers dalam model libertarian yang ada selama ini. Penganut libertarian mempercayai bahwa orang dapat mengetahui kebenaran saat mereka boleh memilih dan pers sebagai penyedia ide-ide/pasar ide. Mereka percaya bahwa media itu beragam dan independen dan orang-orang memiliki akseske media.

Namun kenyataan yang terjadi adalah pers itu menjadi berorientasi profit, dimana lebih mengutamakan penjualan dan iklan di atas kebutuhan untuk menjaga publik mendapat informasi lengkap dan akurat sehingga membahayakan moral publik, melanggar hak-hak pribadi dan dikontrol oleh satu kelas sosioekonomi, yaitu kelas bisnis yang membahayakan pasar ide yang bebas dan terbuka. Teori tanggung jawab sosial berasal dari Commission on Freedom of the Press (Hutchins, 1947) sebagai reaksi atas interpretasi dan pelaksanaan model libertarian yang ada. Komisi tersebut merumuskan beberapa persyaratan pers sebagai berikut:

1.      Memberitakan peristiwa-peristiwa sehari-hari dengan benar, lengkap danberpekerti dalam konteks yang mengandung makna.

2.      Memberikan pelayanan sebagai forum untuk saling tukar komentar dan kritik.

3.      Memproyeksikan gambaran yang mewakili semua lapisan masyarakat

4.      Bertanggung jawab atas penyajian disertai penjelasan mengenai tujuan dan nilai-nilai masyarakat

5.      Mengupayakan akses sepenuhnya pada peristiwa sehari-hari

Secara umum suatu berita haruslah mendukung konsep non-bias, informatif dan institusi pers independen yang akan menghindari penyebab ancaman terhadap kaum minoritas atau yang mendorong tindak kejahatan, kekerasan dan kekacauan sipil. Tanggung jawab sosial seyogyanya dicapai melalui self control/kontrol diri (dari pers itu), bukan dari pemerintah. Tanggung jawab sosial jika dikaitkan dengan jurnalis melibatkan pandangan yang dimiliki oleh pemilik media yang serta merta akan dibawa dalam media tersebut haruslah memprioritaskan tiga hal yaitu keakuratan, kebebasan dan etika. Tak pelak lagi profesionalisme menjadi tuntutan utama disini. Jadi pelaku pers tidak hanya bertanggung jawab terhadap majikan dan pasar namun juga kepada masyarakat.

Dalam konsep tanggung jawab sosial media dituntut menerima dan memenuhi kewajiban tertentu kepada masyarakat, dimanakewajiban itu dipenuhi dengan menetapkan standar yang tinggi atau profesionaltentang keinformasian, kebenaran, ketepatan, objektivitas dan keseimbangan. Media juga harusnya dapat mengatur diri sendiri dalam kerangka hukum danlembaga yang adaSecara singkat teori tanggung jawab sosial ini dapat disimak dalam baganberikut ini :

Teori Tanggung Jawab Sosial

Masa berkembangnya Di AS pada abad ke-20 Pelopor Commission on Freedom of Fress Tujuan Utama Memberi informasi, menghibur, menjual (komersil) namun terutama untuk membangkitkan konflik yang membentuk diskusi Siapa yang berhak menggunakan media ? Setiap orang yang memiliki sesuatu yang ingin dikatakan. Bagaimana media dikontrol ? Opini publik, aksi konsumen, etika profesi Kepemilikan Swasta, kecuali jika pemerintah mengambil alih untuk memastikan pelayanan public Perbedaan mendasar dari teori-teori lain Media harus mengambil kewajiban dari tanggung jawab sosial, dan jika mereka lalai, harus ada yang memastikan mereka melaksanakannya. Jika teori libertarian dilahirkan dari konsep kemerdekaan negatif, yang didefinisikan sebagai kemerdekaan dari/kebebasan dari pengekangan eksternal. Sedangkan teori tanggung jawab sosial berpijak pada konsep kebebasan positif, yaitu kebebasan untuk menghendaki menjadi sarana untuk mencapai tujuan yang diinginkan.


SISTEM PERS DI INDONESIA


Suatu sistem pers diciptakan untuk menentukan bagaimana sebaik-baiknya pers itu dapat melaksanakan kebebasan dan tangungg jawabnya. Faham dasar sistem pers Indonesia tercermin jelas dalam konsideran undang-undang pers, yang mengasakan bahwa “ Pers Indonesia ( nasional ) sebagai wahana komunikasi massa, penyebar informasi, dan pembentuk opini harus dapat melaksanakan asas, fungsi, hak, kewajiban, dan peranannya dengan sebaik-baiknya berdasarkan kemerdekaan pers yang profesional, sehingga harus mendapat jaminan dan perlindungan hukum, serta bebas dari campur tangan dan paksaan darimanapun”.





Sistem Pers Orde Lama.

Sistem Pers diciptakan untuk menentukan bagaimana sebaiknya pers tersebut dapat melaksanakan kebebasan dan tanggung jawabnya. Sistem kebebasan pers Indonesia sendiri merupakan bagian dari sistem kemerdekaan yang lebih luas, yaitu kemerdekaan untuk mengeluarkan pikiran dan pendapat dengan lisan dan tulisan sebagaimana tercantum dalam Pasal 28 UUD 1945, yang harus diatur lebih lanjut dalam undang-undang. Namun kenyataannya selama kurang lebih 17 tahun undang-undang yang mengatur kehidupan pers itu tidak pernah terwujud, hanya baru sampai pada rancangan dan pembicaraan-pembicaraan.

Rancangan undang-undang pers yang dipersiapkan oleh panitia pers dan perencanaan perundang-undangan pers telah diserahkan kepada Menteri Penerangan pada tanggal 11 Agustus 1954 dan sembilan bulan kemudian, pada tanggal 11 Mei 1955 rancangan undang-undang tersebut telah disampaikan kepada kabinet Ali Sastroamidjojo. Namun selanjutnya nasib rancangan undang-undang ini tak menentu lagii rimbanya, karena hingga berakhirnya era demokrasi liberal, Sistem Pers Indonesia belum memiliki undang-undang sebagai landasan yuridisnya.

Di era demokrasi terpimpin para tokoh pers terus berusaha agar rancangan undang-undang pers dapat disahkan। Para penguasa pun berulangkali membicarakan tentang pengesahan undang-undang pers, namun baru pada akhir kepemimpinannya 12 Desember 1966, Presiden Soekarno mengesahkan UU No. 11 Tahun 1966 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pers. Undang-undang ini nantinya menjadi landasan yuridis sistem pers di awal pemerintahan orde baru.

Sistem Pers Orde Baru.

Semenjak diundangkannya Undang-Undang Pokok Pers No. 11 tahun 1966, Menurut S.Tasrif Sistem Pers Orde Baru mengalami kebebasan yang cukup luas geraknya. Namun setelah peristiwa “ Malari “ tahun 1974, kebebasan pers mengalami set-back. Beberapa surat kabar dilarang terbit dan pengawasan terhadap kegiatan pers serta wartawan diperketat. Larangan-larangan dari penguasa lebih digiatkan seperti larangan melalui telepon agar pers tidak menyiarkan berita tertentu, atau dengan jalan memperingatkan wartawan untuk lebih mentaati kode etik jurnalistik sebagai “ self cencorship “.

Lembaga-lembaga pers yang ada pada waktu itu adalah :

Dewan Pers, yaitu merupakan lembaga tertinggi dalam sistem pembinaan pers di Indonesia, dan memegang peranan utama dalam pembangunan pelembagaan bagi pertumbuhan dan perkembangan pers. Walaupun demikian, pembinaan pers berada ditangan pemerintah (Menteri Penerangan, yang dalam pemerintahan reformasi kemudian ditiadakan).

Organisasi Pers, yang termasuk kedalam katagori organisasi pers adalah Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), Serikat Penerbit Surat Kabar (SPS), Serikat Grafika Pers (SGP), dan Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia (P3I).

Indonesia pernah menganut sistem pers otoriter dan sistem pers liberal sebelum akhirnya menganut sistem pers tanggung jawab sosial. Ketika masa orde baru, pers Indonesia sempat menganut sistem pers otoriter, dimana Pemerintah melalui Departemen Penerangan pada masa itu mengontrol seluruh kegiatan pers, mulai dari keharusan memiliki SIUPP bagi lembaga pers, kontrol isi yang amat ketat terhadap pemberitaan pers sampai dengan seringnya kasus pembredelan terhadap media yang dianggap mengganggu stabilitas, ketentraman dan kenyamanan hidup masyarakat dan negara. Kebebasan pers berada di tangan pemerintah. Pers tunduk pada sistem pers, sistem pers tunduk pada sistem politik.

Pasca orba (masa reformasi), pers Indonesia seakan memperoleh kebebasannya yang selama ini tidak pernah benar-benar dirasakan. Pemerintahan Habibie yang pada masa itu menggantikan Soeharto mencabut SIUPP kemudian masa pemerintahan berikutnya di bawah pemerintahan Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan Megawati Soekarnoputri, pemerintah membubarkan Departemen Penerangan. Era kebebasan pers pun dimulai. Sistem pers Indonesia pun berubah menjadi sistem pers liberal. Hal ini dapat dilihat melalui minimnya self censhorsip pada media, artinya media lemah dalam melihat apakah suatu berita layak dimunculkan dan sesuai dengan keinginan masyarakat. Hal ini bisa dilihat dengan maraknya kemunculan berbagai media yang mengangkat tema pornografi guna memenuhi permintaan pasar. Selain itu, muncul pula kecenderungan media untuk mengadili seseorang bersalah sebelum munculnya keputusan hukum oleh pengadilan. Hal ini dapat dilihat pada kasus Soeharto.

Pada awal-awal masa reformasi, media seakan-akan berlomba untuk mengadili sosok Soeharto। Namun lambat laun sistem pers Indonesia mulai berubah dan menyesuaikan dengan ideologi serta etika dan moral yang berkembang di masyarakat. Mulai selektifnya masyarakat dalam memilih media yang akan dikonsumsi menyebabkan lambat laun media-media jurnalisme “lher” hilang dengan sendirinya karena kurang mampu bersaing dengan media-media yang lebih berkulitas dan edukatif dalam menyampaikan informasi.

Sistem Pers Reformasi

Pada masa reformasi, pers Indonesia menikmati kebebasan pers. Pada masa ini terbentuk UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Era reformasi ditandai dengan terbukanya keran kebebasan informasi. Di dunia pers, kebebasan itu ditunjukkan dengan dipermudahnya pengurusan SIUPP. Sebelum tahun 1998, proses untuk memperoleh SIUPP melibatkan 16 tahap, tetapi dengan instalasi Kabinet BJ. Habibie proses tersebut melibatkan 3 tahap saja.

Berdasarkan perkembangan pers tersebut, dapat diketahui bahwa pers di Indonesia senantiasa berkembang dan berubah sejalan dengan tuntutan perkembangan zaman.

Pers di Indonesia telah mengalami beberapa perubahan identitas. Adapun perubahan-perubahan tersebut adalah sbb :

Tahun 1945-an, pers di Indonesia dimulai sebagai pers perjuangan.

Tahun 1950-an dan tahun 1960-an menjadi pers partisan yang mempunyai tujuan sama dengan partai-partai politik yang mendanainya.

Tahun 1970-an dan tahun 1980-an menjadi periode pers komersial, dengan pencarian dana masyarakat serta jumlah pembaca yang tinggi.

Awal tahun 1990-an, pers memulai proses repolitisasi.

Awal reformasi 1999, lahir pers bebas di bawah kebijakan pemerintahan BJ. Habibie, yang kemudian diteruskan pemerintahan Abdurrahman Wahid dan Megawati Soekarnoputri, hingga sekarang ini.

Fungsi dan Peranan Pers dalam Masyarakat Demokratis Indonesia

Pers atau media amat dibutuhkan baik oleh pemerintah maupun rakyat dalam kehidupan bernegara. Pemerintah mengharapkan dukungan dan ketaatan masyarakat untuk menjalankan program dan kebijakan negara. Sedangkan masyarakat juga ingin mengetahui program dan kebijakan pemerintah yang telah, sedang, dan akan dilaksanakan.

Dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 Pasal 33 disebutkan mengenai fungsi pers, dalam hal ini pers nasional. Adapun fungsi pers nasional adalah sbb :

1. Sebagai wahana komunikasi massa

Pers nasional sebagai sarana berkomunikasi antarwarga negara, warga negara dengan pemerintah, dan antarberbagai pihak.

2. Sebagai penyebar informasi.

Pers nasional dapat menyebarkan informasi baik dari pemerintah atau negara kepada warga negara (dari atas ke bawah) maupun dari warga negara ke negara (dari bawah ke atas).

3. Sebagai pembentuk opini.

Berita, tulisan, dan pendapat yang dituangkan melalui pers dapat menciptakan opini kepada masyarakat luas. Opini terbentuk melalui berita yang disebarkan lewat pers.
4. Sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol serta sebagai lembaga ekonomi.

UU No. 40 Tahun 1999 Pasal 2 menyebutkan : “Kemerdekaan pers adalah salah satu wujud kedaulatan rakyat yang berasaskan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan, dan supremasi hukum.”

Dapat disimpulkan bahwa fungsi dan peranan pers di Indonesia antara lain sbb :

1.    media untuk menyatakan pendapat dan gagasan-gagasannya.

2.    media perantara bagi pemerintah dan masyarakat.

3.    penyampai informasi kepada masyarakat luas.

4.    penyaluran opini publik.

LANDASAN PERS INDONESIA

Pers Indonesia perlu tetap memiliki landasan untuk menghindari ironi, tirani, dan bahkan hegemoni kekuasaan dalam tubuh pers itu sendiri. Oleh karena itu, pers Indonesia memiliki landasan sebagai berikut ;

Landasan Idiil.

Landasan pertama, yakni landasan idiil pers, tetap pancasila. Artinya, selama ideologi negara tidak diganti, suka atau tidak suka, pers nasional kita harus tetap merujuk kepada pancasila sebagai ideologi nasional, dasar negara, falsafah hidup bangsa, sumber tata nilai, dan sumber dari segala sumber hukum.

Landasan Konstitusional.

Landasan yang menunjuk kepada UUD 1945 setelah empat kali dilakukan amandemen dan ketetapan MPR yang mengatur tentang kebebasan berserikat, berkumpul, dan kebebasan menyatakan pendapat dengan lisan dan tulisan.

Landasan Yuridis Formal.

Mengacu kepada UU Pokok Pers No. 40/ 1999 untuk pers, dan UU Pokok Penyiaran No. 32/ 2002 untuk radio siaran dan media televisi siaran.

Landasan strategis Operasional.

Landasan ini mengacu kepada kebijakan redaksional media pers masing-masing secara internal yang berdampak kepada kepentingan sosial dan nasional.

Landasan Sosiologis Kultural.

Landasan ini berpijak pada tata nilai dan norma sosial budaya agama yang berlaku dan sekaligus dijunjung tinggi oleh masyarakat bangsa Indonesia.

Landasan Etis Profesional.

Landasan ini menginduk kepada kode etik profesi. Setiap organisasi profesi pers harus memiliki kode etik. Secara teknis, beberapa organisasi pers bisa saja sepakat hanya menginduk kepada satu kode etik. Tetapi secara filosofis, setiap organisasi pers harus menyatakan terikat dan tunduk kepada ketentuan kode etik. Ini berarti tiap organisasi pers boleh memiliki kode etik sendiri-sendiri, boleh juga menyepakati kode etik bersama.

PENUTUP

Sistem Pers merupakan bagian atau subsistem dari sistem yang lebih besar, yaitu sistem komunikasi, sedangkan sistem komunikasi itu sendiri merupakan bagian dari sistem kemasyarakatan ( sosial ) yang lebih luas. Inti permasalahan dalam membicarakan suatu sistem pers, adalah sistem kebebasannya. Suatu sistem pers diciptakan untuk menentukan bagaimana sebaik-baiknya pers itu dapat melaksanakan kebebasan dan tangungg jawabnya.

Dilihat dari perkembangannya sistem pers Indonesia dari era suatu pemerintahan, yakni ORDE lama, ORDE baru, dan Reformasi. Sedangkan sistem pers yang saat ini dianut yakni Pers demokrasi pancasila, dimana pers harus sesuai dan sejalan dengan apa yang dicita-citakan dalam isi dari pancasila.

Secara teori sistem pers menurut Fred Siebert, Theodore Paterson, dan Wilbur Schram dalam buku “ Four Theories of The Press” ( 1963) ada empat kelompok teori sistem Pers, yaitu: Teori Sistem Pers Otoriter, Teori Sistem pers Liberal, Teori sistem Pers Komunis, dan Teori Sistem Pers Tanggung jawab sosial.

Dalam menjalankan sistem persnya Indonesia memiliki landasan persnya yakni landasan idil, landasan konstitusional, landasan yuridis formal, landasan operasional, landasan sosiologis kultural dan landasan etis profesional.




DAFTAR PUSTAKA

Eyo Kahya, Perbandingan Sistem dan Kemerdekaan Pers, Jakarta; Pustaka Bani Quraisy, 2004

Nurudin, Sistem Komunikasi Indonesia, Jakarta; PT. Raja Graffindo Persada, 2004

As Haris Sumadiria, Jurnalistik Indonesia Menulis Berita dan Feature, Bandung ; Simbiosa Rekatama Media, 2006

Eyo Kahya, Perbandingan Sistem dan Kemerdekaan Pers, ( Jakarta; Pustaka Bani Quraisy, 2004 ), h. 37.

Ibid, h. 55.

Nurudin, Sistem Komunikasi Indonesia, ( Jakarta; PT. Raja Graffindo Persada, 2004 ), h. 72-74.

As Haris Sumadiria, Jurnalistik Indonesia Menulis Berita dan Feature, ( bandung ; Simbiosa Rekatama Media, 2006 ), h. 51-53.